Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
BeritaDaerahPolitik

Selasa Menyapa Rp50 Miliar dan Jejak Pergeseran APBD Bima

×

Selasa Menyapa Rp50 Miliar dan Jejak Pergeseran APBD Bima

Sebarkan artikel ini
Bupati Bima dan Wakil Pada acara Selasa Menyapa di Lambitu

Catatan Redaksi- Program unggulan Adi–Irfan Selasa Menyapa lahir dengan semangat mendekatkan pemerintah dan rakyat. Namun di balik semangat itu, terselip pertanyaan publik: dari mana asal dana Rp50 miliar yang membiayainya? 

Pada 20 Mei lalu, Bupati Adi Mahyudi dan Wakil Bupati Irfan Zubaidy (Adi–Irfan) resmi meluncurkan Selasa Menyapa. Menariknya, program unggulan itu diperkenalkan tepat di Hari Kebangkitan Nasional, seakan ingin menebar pesan bahwa era baru telah dimulai di Kabupaten Bima.

Example 300x600

Program tersebut dirancang untuk menyapa 25 desa di 18 kecamatan. Desa Rato, Kecamatan Lambu, mendapat kehormatan menjadi locus peresmian. Pilihan ini bukan tanpa alasan: wilayah itu adalah basis kemenangan terbesar Adi–Irfan pada Pilkada Bima 2024.

“Rato–Lambu, saksi sejarah kemenangan terbesar kami di Pilkada lalu. Tempat di mana kepercayaan rakyat mengalir tulus, penuh harapan,” ujar Bupati Adi Mahyudi saat itu.

Menurut politisi PAN itu, amanah bukanlah kehormatan semata, melainkan tanggung jawab besar yang harus dijalankan bersama rakyat. Ia bertekad membalas kepercayaan itu dengan kerja nyata.

“Kami datang untuk duduk bersama, makan bersama, berdialog, bekerja, dan berdoa bersama. Karena hanya dengan kebersamaan, Bima bisa benar-benar Bermartabat,” tegasnya.

Memilih Tak Berjarak Dengan Rakyat

Selasa Menyapa sering disebut sebagai pemecah kebuntuan komunikasi antara pemerintah dan rakyat. Ia menawarkan suasana yang lebih intim, tanpa “tembok besar” yang memisahkan birokrasi dan warga. Program itu menjadi jembatan yang menghubungkan kembali harmoni yang sempat retak selama satu dekade terakhir.

“Yang paling utama adalah memangkas jarak antara pemerintah dan masyarakat, agar bisa berjalan beriringan,” kata pemimpin perubahan ini.

Ia menyadari bahwa tantangan terbesar pemerintah daerah ialah jarak, baik secara fisik maupun emosional, antara birokrasi dan rakyat. Banyak warga pelosok, katanya, masih kesulitan mengakses layanan dasar karena kendala jarak, waktu, dan biaya.

Dari sinilah Selasa Menyapa menemukan relevansinya. Ia menjadi titik temu antara janji politik dan ikhtiar mendekatkan pelayanan publik. Memungkinkan layanan pemerintah hadir langsung di tengah masyarakat, membalut visi “Bima Bermartabat”.

Buah Dari Pergeseran APBD

Namun tak lama setelah peluncurannya, beredar isu miring: bahwa kepala desa diminta “urunan” biaya untuk mendukung kegiatan tersebut.

“Tidak ada satu rupiah pun anggaran dana desa untuk membiayai Selasa Menyapa”, tegas Yan Suryadin, Kabag Protokoler dan Komunikasi Pimpinan Setda Bima.

Bupati Adi Mahyudi juga menegaskan, seluruh pembiayaan Selasa Menyapa bersumber dari APBD Bima 2025 hasil pergeseran anggaran. Totalnya Rp50 miliar. Sebab, APBD yang ditetapkan pada akhir 2024 tidak mengakomodasi kegiatan tersebut.

Pergeseran APBD Rp50 miliar itu menimbulkan pertanyaan besar. Dari pos mana saja dana tersebut diambil? Apalagi di tahun 2025, pemerintah daerah justru menghadapi pemotongan Dana Transfer dari pusat.

DPRD Bima bahkan menuding langkah itu dilakukan tanpa konsultasi. “Pergeseran APBD oleh Bupati itu siluman,”ujar Ketua Komisi II DPRD Bima, Ramdin, SH.

Melihat Kembali Dampak Pergeseran APBD

Catatan katada.id menelusuri adanya sejumlah perubahan signifikan dalam struktur APBD Bima 2025 pasca pergeseran tersebut:

Belanja barang untuk diserahkan kepada masyarakat naik dari Rp73,24 miliar menjadi Rp91,93 miliar (naik Rp18,69 miliar).

Belanja hibah meningkat dari Rp32,63 miliar menjadi Rp38,25 miliar (naik Rp5,72 miliar).

Belanja tidak terduga naik dari Rp3,5 miliar menjadi Rp5 miliar (naik Rp1,5 miliar).

Anggaran perbaikan jalan turun tajam dari Rp42,25 miliar menjadi Rp17,85 miliar (turun Rp24,39 miliar).

Belanja modal jembatan berkurang dari Rp19,41 miliar menjadi Rp13,71 miliar (turun Rp5,7 miliar).

Pos baru pengadaan alat berat (ekskavator) muncul sebesar Rp3,9 miliar (tidak tercantum sebelumnya dalam APBD awal).

Anggaran rumah dinas kepala daerah kini mencapai Rp2,28 miliar (padahal sebelumnya, APBD hanya mengakomodir Sewa Rumah Rp235 kita dan Pemeliharaan Rumah Rp150 juta. Angka Rp2,28 miliar itu muncul dari anggaran baru Rp1, 5 untuk bangun rumah dinas, dan sisanya peningkatan dana untuk menyewa dan memelihara rumah.

Dari sini, publik kembali bertanya: dari mana sumber anggaran Rp50 miliar untuk mendekatkan layanan masyarakat itu?
Lagi dan lagi tak ada penjelasan apapun. Semuanya diam seperti tak pernah terjadi apa-apa.

Akademisi Pertanyakan Impact Selasa Menyapa

Taufan, S.H.,MH mengapresiasi program Adi-Irfan terutama dalam memangkas jarak dan mendekatkan pelayanan publik bagi rakyat Bima. Meskipun demikian ia menyerukan agar kegiatan itu tidak hanya seremonial saja.

“Kegiatan itu harus punya dampak yang sebanding dengan nilai anggarannya” ujarnya, pada katada.id, Rabu (29/10) di Mataram.

Akademisi Universitas Mataram itu menegaskan bahwa yang paling penting dari sebuah program itu perencanaan dan evaluasinya.

“Nah, sekarang apakah ada lembar penilaian untuk mengukur realisasi kegiatan itu,”
tanya Direktur Lembaga Pengembangan Wilayah NTB ini.

Ia juga mempertanyakan dampak dari diskusi bareng dan dialog bersama warga. Mengingat kata dia setiap kunjungan warga punya kompleksitas masalah dan kebutuhan yang tidak sama.

“Sebenarnya bukan soal seberapa sering warga sampaikan aspirasi, melainkan bagaimana aspirasi itu betul-betul ditindaklanjuti. Jangan sampai hanya sekedar dilihat sebagai proyek,” tegasnya.

Desakan Transparansi

Tak ada yang menampik semangat Selasa Menyapa, mendekatkan pemerintah dengan rakyat. Tapi dengan anggaran sebesar itu, publik berhak tahu sumber, alokasi, dan hasil nyata dari setiap rupiah yang dibelanjakan.

Di tengah fiskal daerah yang menipis, transparansi bukan sekadar kewajiban administratif. Ia menjadi ukuran moral kepemimpinan.

Kini, Selasa Menyapa menjadi ujian bagi duet Adi–Irfan: apakah benar menjadi jembatan yang mempererat pemerintah dan rakyat, atau justru sekadar program seremonial berbiaya tinggi yang kehilangan arah di tengah jalan? (*)

Example 300250

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *