Mataram, Katada.id – Fakultas Hukum, Ilmu Sosial, dan Ilmu Politik Universitas Mataram kembali menggelar diskusi Sorot Kamera Seri ke-3 dengan tema “Menata Pembangunan Daerah di Tengah Bayang-Bayang Kejahatan dan Kemiskinan.”
Kegiatan ini menghadirkan Khairus Febryan Fitrahady, S.H., M.H., dan Dr. Dwi Setiawan Chaniago, S.Sos., M.A. sebagai narasumber, serta dimoderatori oleh Taufan, S.H., M.H. Dekan FHISIP Universitas Mataram, Dr. Lalu Wira Pria Suhartana, S.H., M.H. juga hadir sebagai keynote speaker.
Taufan memaparkan latar belakang pemilihan tema ini dengan merujuk pada pendapat Ronald Reagen yang menyatakan bahwa pemerintah itu bukan solusi, tetapi pemerintah itu adalah masalah itu sendiri. Hal ini menjadi terbukti dengan jenis kejahatan yang marak terjadi di NTB adalah crime of need (kejahatan karena kebutuhan) dibandingkan dengan crime of greed (kejahatan karena keserakahan). Ia menambahkan bahwa penyebab crime of need terjadi adalah karena pemerintah gagal mensejahterakan rakyatnya.
“Data Polda NTB menunjukkan bahwa kejahatan yang banyak terjadi adalah crime of need berupa pencurian, kekerasan, penganiayaan, perdagangan narkotika dan sebagainya. Dalam perspektif kriminologi, pembangunan memiliki hubungan yang kuat dengan kejahatan.” Ujarnya.
Lalu Wira Pria Suhartana dalam sambutannya menjelaskan bahwa dalam menghadapi isu kontemporer, lembaga pendidikan harus turut hadir untuk memberikan penjelasan dan solusi secara independen dan bebas. Ia menambahkan jika isu hukum kini merambat ke ranah sosiologi sebagaimana pembentukan dan pelaksanaan hukum yang tidak bisa lepas dari disiplin ilmu lainnya. Isu pembangunan daerah juga menurutnya penting untuk dikupas dalam diskusi kali ini.
“Saya ingin mengajak rekan-rekan semua yang hadir untuk berpikir secara kritis bagaimana arah dan tantangan pembangunan daerah kali ini. Lalu bagaimana pentingnya kolaborasi interdisipliner, khususnya dalam hal ini prodi-prodi di bawah naungan FHISIP mengupas arah pembangunan daerah yang tidak mengabaikan masyarakat kecil.” jelasnya.
Dalam pemaparannya, Khairus Febryan mengawali dengan mengajukan pertanyaan kritis: apakah kejahatan dan kemiskinan yang menghambat pembangunan, ataukah buruknya tata kelola pemerintahan yang justru menjadi akar dari persoalan tersebut? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Ia merujuk pada beberapa teori salah satunya, yaitu Vicious Circle of Poverty dari Ragnar Nurkse yang menggambarkan kemiskinan sebagai siklus berulang: rendahnya modal – produktivitas rendah – pendapatan rendah – konsumsi rendah – kembali ke kemiskinan.
Untuk menyikapi kemiskinan yang mengarah kepada kejahatan, Khairus menekankan pentingnya pendekatan non-hukum dalam menangani kejahatan. Ia mengutip teori kontrol sosial Travis Hirschi, teori strain Robert Merton, dan cultural transmission theory Shaw & McKay sebagai landasan bagi kebijakan berbasis sosial, ekonomi, dan budaya dengan contohnya seperti program Bhabinkamtibmas, Kartu Prakerja, dan Kampung Bebas Narkoba.
“Intinya seperti lingkaran setan, tata kelola pemerintahan yang buruk berdampak pada meningkatnya kemiskinan dan kejahatan, lalu pembangunan daerah pun terhambat. Juga Hukum memengaruhi ekonomi, dan ekonomi juga memengaruhi hukum. Keduanya harus berjalan seiring untuk menciptakan kondisi ekonomi dan fiskal yang lebih baik.” ujarnya.
Sementara itu, Dr. Dwi Setiawan Chaniago memaparkan persoalan dari sudut pandang sosiologis. Ia menyatakan bahwa pembangunan di Indonesia masih terjebak dalam determinisme ekonomi yang korporat-sentris, dan mengabaikan pembangunan sosial. Akibatnya, muncul kesenjangan sosial dan kemiskinan struktural yang memicu kejahatan. Ia menyebut kejahatan sebagai “senjata orang-orang yang kalah,” sebuah bentuk respons masyarakat terhadap kegagalan pembangunan yang tidak inklusif.
“Berkaca prinsip “Leave No One Behind” dari Sustainable Development Goals (SDGs), yang menyerukan agar tidak ada satu pun kelompok masyarakat yang tertinggal dalam proses pembangunan. Tidak ada pembangunan tanpa keberpihakan, dan tidak ada keberpihakan tanpa pembangunan. Tetapi baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, lebih banyak memfokuskan pada pertumbuhan ekonomi dibandingkan dengan kesejahteraan sosial, sehingga muncul kesenjangan sosial dan kemiskinan. Akhirnya kejahatan muncul ekses negatif dari kemiskinan akibat gagalnya pembangunan sosial.” Paparnya.
Dalam konteks post-desentralisasi, Dwi menyoroti semakin terkikisnya kewenangan daerah akibat sentralisasi regulasi dan kehadiran lembaga-lembaga pusat di daerah, yang menurutnya menyebabkan lemahnya kapasitas pemerintah daerah dalam mengelola pembangunan lokal. Ia mengingatkan bahwa proyek strategis seperti kawasan Mandalika harus menjadi pemicu pembangunan ekonomi lokal, bukan sekadar destinasi elitis orang-orang yang dekat dengan pemerintah pusat.
Diskusi juga melibatkan berbagai peserta, baik dari akademisi, mahasiswa, hingga praktisi. Mereka menyuarakan keprihatinan atas lemahnya institusi sosial, rendahnya daya saing pendidikan di NTB, hingga pentingnya pembangunan moral dan etika di tengah fokus ekonomi yang dominan.
Acara ditutup dengan refleksi bersama bahwa pembangunan tidak hanya soal pertumbuhan ekonomi, melainkan juga transformasi sosial, keadilan, dan pemberdayaan masyarakat di akar rumput. Harapan dibangun bahwa pemikiran kritis dalam diskusi ini dapat menjadi pijakan perubahan kebijakan yang lebih berpihak pada masyarakat menengah ke bawah. (sm)