Bima, katada.id – Di balik senyumnya yang polos, Arumi Aghnia Azkayra menyimpan luka yang tak bisa diceritakan dengan kata-kata. Di usianya yang masih 1 tahun 4 bulan, Arumi telah melalui sesuatu yang tidak seharusnya dialami anak-anak seusianya: kehilangan tangan kanan akibat infeksi parah yang diduga berasal dari kelalaian penanganan medis.
Cerita pilu ini bermula pada 10 April 2025, ketika Arumi dibawa oleh kedua orang tuanya, Andika Putra dan Marlina, ke IGD Puskesmas Bolo, Kabupaten Bima, karena mengalami demam tinggi dan muntah. Marlina, sang ibu, tidak pernah membayangkan bahwa sejak langkah pertama ke ruang gawat darurat itu, hidup putrinya akan berubah selamanya.
Infus pertama dipasang di tangan kiri Arumi, namun beberapa waktu kemudian terlihat pembengkakan. Marlina segera melapor ke perawat dan infus pun dicabut. Namun, beberapa jam setelahnya, infus kembali dipasang—kali ini di tangan kanan. Esok harinya, Arumi dipindahkan ke ruang perawatan anak.
Namun kondisi Arumi tidak membaik. Marlina yang khawatir, meminta rujukan ke RSUD Sondosia pada 13 April. Sebelum dirujuk, perawat kembali menyuntikkan obat melalui tangan kanan Arumi yang sudah tampak membengkak. Marlina sempat memperingatkan, tapi perawat hanya menjawab, “Itu hanya efek dari plester,” lalu tetap melakukan penyuntikan. Beberapa jam kemudian, Arumi menangis kesakitan saat tangannya disentuh.
“Saya memegang tangan kanan anak saya, tiba-tiba dia menarik tangannya dan menangis keras. Saya langsung melapor ke perawat dan infus dicabut saat itu juga,” ujar Marlina sambil menahan emosi.
Namun pembengkakan terus menjalar. Marlina mencoba mengompres tangan putrinya dengan air hangat sesuai petunjuk, tapi kondisi malah memburuk. Pada malam hari, setelah rujukan diberikan, mereka bergegas ke RSUD Sondosia. Di sana, infus kembali dipasang di tangan kiri dan dilakukan observasi.
Pagi harinya, 14 April, pembengkakan di tangan kanan Arumi makin parah. Marlina kembali menyampaikan keluhannya kepada dokter spesialis anak yang tengah melakukan visitasi. Namun, respons yang diterima sangat mengecewakan.
“Katanya itu hanya penumpukan cairan. Saya disarankan untuk mengompres tangan anak saya dengan air dingin,” ungkap Marlina. Tapi hasilnya nihil. Justru kondisi Arumi kian memburuk: tangannya membengkak hingga ke atas siku, menghitam, keras, dan jari-jarinya kaku. Kekhawatiran Marlina berubah menjadi ketakutan nyata: anaknya bisa kehilangan tangan.
Namun permintaannya untuk dirujuk ke RSUD Bima sempat ditolak. Marlina dan Andika harus menelan pil pahit karena hanya diberi salep dan suntikan. Ketika kesabaran mencapai batasnya, Marlina membawa Arumi ke IGD RSUD Sondosia dengan tangisan dan memohon agar anaknya dirujuk.
Akhirnya, pada 15 April malam, mereka mendapat rujukan paksa dan menuju RSUD Bima. Tapi lagi-lagi, Arumi tidak mendapat penanganan serius.
“Saya disambut dengan ucapan yang meremehkan. Dokter bilang itu hanya peradangan dan akan kempes sendiri setelah diberi obat,” tutur Marlina.
Perawat bahkan meminta Marlina untuk “tidak overthinking.” Padahal, Arumi menderita demam tinggi, mual, dan kesakitan luar biasa. Dari tengah malam 15 April hingga siang 16 April, tidak ada satu pun dokter datang untuk memeriksa Arumi secara langsung.
Baru pada pukul 11.00 WITA, ketika Marlina menangis histeris karena kondisi anaknya yang semakin melemah, seorang dokter spesialis datang dan langsung menyatakan bahwa tangan Arumi mengalami infeksi parah dan harus segera dioperasi. Operasi darurat pun dilakukan, dan hasilnya sungguh menyayat hati: jari-jari tangan Arumi sudah tak bisa diselamatkan.
Dokter menjelaskan bahwa infeksi berasal dari luka bekas tusukan infus yang kemungkinan terinfeksi bakteri ganas. Malam 18 April, Arumi dirujuk ke RSUP NTB. Di sana, setelah perawatan intensif dan observasi, dokter menyimpulkan bahwa tangan kanan Arumi tidak mungkin dipertahankan.
Pada 12 Mei, setelah persetujuan orang tua, operasi amputasi dilakukan. Tangan kanan Arumi, dari telapak hingga jari-jarinya, resmi diamputasi.
Kini, keluarga kecil ini bukan hanya berduka, tapi juga berjuang. Marlina menuntut pertanggungjawaban dari semua pihak yang terlibat. Ia menuntut evaluasi menyeluruh atas sistem rujukan dan penanganan medis di NTB, mulai dari Puskesmas Bolo, RSUD Sondosia, hingga RSUD Bima.
“Kami ingin keadilan. Anak kami menderita karena kelalaian yang terus terjadi di berbagai fasilitas kesehatan,” ujar Marlina tegas.
Marlina dan Andika juga meminta bantuan dari pemerintah daerah dan pusat, tidak hanya untuk mengusut tuntas kasus ini, tetapi juga menjamin masa depan Arumi—mulai dari pendidikan, alat bantu tangan (prostetik), hingga pendampingan psikologis.
“Anak kami masih sangat kecil. Dia berhak bermain, belajar, dan tumbuh seperti anak-anak lainnya. Jangan biarkan kelalaian ini menghancurkan hidupnya,” pungkas Marlina dengan suara gemetar.
Kasus ini telah menyita perhatian publik NTB dan memicu kecaman dari berbagai kalangan. Organisasi advokasi kesehatan dan perlindungan anak mulai bergerak untuk memberikan pendampingan hukum dan moral bagi keluarga Arumi.
Kini, tangan kecil Arumi mungkin telah tiada, tetapi perjuangan keluarganya menyalakan harapan: agar tidak ada anak lain yang mengalami nasib serupa.
Keadilan untuk Arumi: Polisi Selidiki Dugaan Malapraktik
Harapan untuk keadilan bagi Arumi Aghnia Azkayra, yang kehilangan tangan kanannya akibat dugaan malapraktik medis, mulai mendapat titik terang. Satreskrim Polres Bima resmi menyelidiki kasus yang mengguncang hati publik tersebut.
Kasus ini bukan sekadar soal prosedur medis yang keliru, tetapi tentang nasib seorang anak kecil yang seharusnya bisa bermain dan menggenggam dunia, namun kini harus menghadapi kenyataan hidup dengan satu tangan.
Kepala Satreskrim Polres Bima, AKP Abdul Malik mengonfirmasi bahwa pihaknya telah menerima dan menindaklanjuti laporan dari keluarga korban. “Iya, laporan sudah kami tindaklanjuti,” ujarnya lewat pesan WhatsApp pada Rabu, 7 Mei 2025.
Sejak laporan masuk, penyidik bergerak cepat. Sejumlah saksi telah diperiksa, termasuk para perawat yang terlibat dalam penanganan Arumi di Puskesmas Bolo dan RSUD Sondosia, dua fasilitas kesehatan yang sempat menjadi tempat perawatan balita malang tersebut.
“Penyidik juga sudah meminta keterangan orang tua korban yang saat itu sedang berada di RSUP NTB. Kita ingin tahu kronologi kejadiannya secara menyeluruh,” jelas AKP Malik.
Langkah ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran utuh dari peristiwa tragis yang mengakibatkan tangan kanan Arumi diamputasi, usai terjadinya infeksi hebat yang diduga berasal dari penanganan infus yang salah.
Proses penyidikan tidak hanya berjalan di ranah hukum kepolisian. Di Mataram, kasus ini juga sedang ditelusuri oleh Majelis Kehormatan Keperawatan dan Dokter, lembaga yang berwenang menilai apakah ada unsur kelalaian atau pelanggaran etik dari tenaga medis yang menangani Arumi.
Majelis tersebut akan melakukan pendalaman terhadap tindakan perawat yang disebut-sebut menyepelekan pembengkakan tangan Arumi, meski telah diperingatkan oleh ibunya. Penyuntikan tetap dilakukan, dan beberapa hari setelahnya, tangan Arumi membiru, membengkak, dan akhirnya tak bisa diselamatkan.
AKP Abdul Malik menyatakan bahwa hasil penyelidikan dari majelis tersebut akan menjadi bahan rujukan utama dalam menentukan langkah hukum selanjutnya. “Kami menunggu hasil penyelidikan majelis tersebut. Nanti sebagai rujukan penyidik untuk melangkah ke tahap berikutnya,” tegasnya. (red)