MATARAM-Hakim Pengadilan Tipikor Mataram menjatuhkan vonis bebas atas terdakwa kasus korupsi pengelolaan kebun kopi Tambora Kabupaten Bima 2006 Heru Priyanto. Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Bima pun menempus jalur hakum lain, yakni mengajukan kasasi.
Memori kasasi atas putusan bebas Heru telah diserahkan kepada Pengadilan Tipikor. Begitu juga dengan memori kasasi dari kubu Heru. ’’Kami sudah sampaikan memori kasasi. Pekan lalu kami ajukan,’’ kata Kasi Pidsus Kejari Bima Wayan Suryawan, Senin (8/7).
Dalam memori kasasinya, jaksa meminta Hakim Mahkamah Agung untuk menghukum terdakwa Heru sesuai tuntutannya. Dalam dakwaan, jaksa meyakini Heru bersalah dan terbukti melakukan tindak pidana korupsi.
Humas Pengadilan Tipikor Mataram Fathurrauzi mengaku pihaknya sudah menerima memori kasasi dari jaksa maupun terdakwa. Nantinya, akan dikirim ke Mahkamah Agung. ’’Tinggal dikirim. Jaksa maupun terdakwa mengajukan kasasi,’’ ungkapnya.
Sebagai informasi, majelis hakim Pengadilan Tipikor pada PN Mataram membebaskan terdakwa Heru dari semua dakwaan. Hakim menilai terdakwa tidak bersalah dan tidak terbukti menerima Rp 40 juta untuk memperkaya diri sendiri.
Majelis hakim juga berpendapat bahwa terdakwa Heru tidak terbukti menyuruh atau turut serta melakukan tindak pidana korupsi bersama ketua pelaksana kegiatan Syafruddin Idris dan kepala kebun Suparno.
Seperti yang tertuang dalam putusan hakim, jual beli 25 ton kopi tambora pada Juli 2006 sudah sesuai dengan isi perjanjian yang ditandatangani antara pengusaha Hariadi dan terdakwa Heru. Uang tunai Rp 31 juta yang disetor di awal merupakan uang muka pembelian kopi.
Uang tersebut disetor ke ke kas daerah melalui bendahara dinas Abidin Muhammad. Sementara uang sebesar Rp 8,5 juta operasional kepala dinas, menurut hakim hanya tuduhan kosong terpidana Suparno dan Syafruddin. Jaksa penuntut umum tidak bisa membuktikannya di dalam persidangan.
Pengamanan produksi kopi tambora 2006 seluas 500 hektare dibiayai APBD Kabupaten Bima sebesar Rp 192 juta. Pengelolaan senilai Rp 525 juta cuma dilaporkan Rp 378 juta. Suparno dan Syafruddin membuat laporan pertanggungjawaban fiktif. BPKP Perwakilan NTB menghitung selisih Rp 147 juta sebagai kerugian negara. (dae)