Mataram, katada.id – Ribuan elemen masyarakat, mahasiswa dan kaum buruh di NTB secara serentak melakukan aksi penolakan terhadap disahkannya undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker), Kamis (8/10).
Aksi penyampaian aspirasi itu terjadi di beberapa titik. Tidak hanya dilakukan di DPRD, tetapi juga dikantor wilayah DPD NTB.
Menanggapi aksi massa itu, Anggota DPD RI perwakilan NTB, Evi Apita Maya mengakui demo itu bagian hak kebebasan berpendapat rakyat. Melihat gelombang aksi hari ini tentu ini harus diatensi serius oleh pemerintah. Agar undang-undang Omnibus Law yang baru-baru ini disahkan bisa dibatalkan kembali. Karena situasi yang berkembang cukup mengkhawatirkan, serta mengganggu stabilitas Negara dan Daerah.
“Memang Presiden dan DPR terkesan buru-buru mengesahkan Omnibus Law tersebut. Harusnya lebih awal disosialisasikan secara menyeluruh kepada masyarakat atau dipublikasikan secara jelas kepada masyarakat, supaya ini tidak menjadi masalah. Juga tidak sepatutnya disahkan dengan cara dadakan tengah malam. Sementara dari pengesahan memicu kemarahan rakyat Indonesia,” terang Evi Apita Maya.
Lebih lanjut Evi mengutarakan, kedudukan antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) adalah sama. Namun masing-masing mempunyai kewenangan sendiri. DPR mewakili pusat, sedangkan DPD mewakili daerah pemilihannya. Kesamaan dari kedua lembaga ini memiliki hak yang sama dalam membahas rancangan Undang-Undang Otonomi Daerah. Tetapi di sisi lain tidak memiliki hak untuk mengesahkan suatu undang-undang. Dan terjadi pembatasan pengaturan kewenangan dari DPD itu sendiri.
“Akibatnya kita DPD tidak memiliki hak setara seperti DPR untuk mengintervensi jauh lebih dalam soal pembahasan perancangan peraturan perundang-undangan. Termasuk hari ini Omnibus Law Ciptaker yang didemo mahasiswa seluruh Indonesia,” katanya.
Menyadari hal demikian, dia tetap menyuarakan atau menyampaikan ke Pemerintah pusat perjuangan dari seluruh elemen masyarakat NTB. Misalnya undang-undang Omnibus Law itu bisa dilakukan upaya yudisial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Sewalaupun RUU Omnibus Law telah disahkan menjadi Undang-undang. Bukan berarti tidak bisa diajukan untuk pencabutan kembali aturan yang disahkan itu. Kalau pemerintah lebih khawatir akan terjadi gejolak lebih besar. Bisa dikeluarkan Perppu. Tetapi kalau gelombang masih terus berlanjut, bisa dilakukan upaya yudisial review ke MK,” jelasnya. (rif)