Mataram, Katada.id – Fakultas Hukum, Ilmu Sosial, dan Ilmu Politik Universitas Mataram (FHSIP Unram) kembali menghadirkan forum diskusi publik Sorot Kamera seri ke-9.
Kali ini mengupas tema “Efektivitas Kontrol Legislatif dan Siluman Pokir”. Kegiatan akademis itu berlangsung Jumat (26/9) di Aula Prof. Zainal Asikin Gedung A FHISIP Unram. Narasumbernya akademisi ternama, Dr. Risnain, S.H., M.H., Sally Salsabila, S.STP., M.P.P., dan Ramli Ernanda.
Diskusi ini dipandu oleh Muh. Alfian Fallahiyan, S.H., M.H. Alfian membuka forum dengan penekanan bahwa isu pokok pikiran (pokir) legislatif bukan sekadar teknis, melainkan problem sosiologis dan ketatanegaraan.
“Pokir telah berubah dari instrumen representasi rakyat menjadi potensi penyalahgunaan wewenang. Legislatif seharusnya pengawas, bukan eksekutor,” tegas Alfian, membuka diskursus.
Dekan FHISIP UNRAM, Dr. Lalu Wira Pria Suhartana, S.H., M.H., menyoal harmoni eksekutif dan legislatif justru kerap melemahkan fungsi kontrol.
“Pertanyaannya, apakah legislatif masih harus jadi fungsi kontrol atau tidak?” katanya saat membuka acara.
Kegiatan itu menjadi menarik, ditengah penyidikan Kejati NTB atas indikasi korupsi Pokir, yang diduga melibatkan lusinan anggota DPRD NTB dan sejumlah pejabat tinggi Pemprov NTB.
Dalam pemaparannya, Dr. Risnain menekankan bahwa fungsi pengawasan parlemen sejatinya lahir untuk membatasi kekuasaan dan memastikan akuntabilitas.
“Sekarang justru muncul privatisasi dana pokir, seolah-olah menjadi milik pribadi anggota dewan. Ini berbahaya karena berpotensi melahirkan praktik korupsi,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa parlemen harus kembali ke fungsi dasar yakni legislasi, pengawasan, dan anggaran.
“DPR tidak boleh ikut mengeksekusi dana pokok pikiran,” tegasnya.
Sementara Sally Salsabila menyoroti distorsi sistem yang menjadikan pokir sebagai alat transaksi politik, dari perspektif sosiologis.
“Lebih mengkhawatirkan, politik uang semakin dianggap normal. Kalau dibiarkan, ia bisa menjadi budaya politik baru,” ungkapnya.
Sementara itu, Ramli Ernanda mengurai dinamika politik anggaran di NTB. Ia menyoroti praktik rapat pagar yang berlangsung tertutup, serta pergeseran anggaran yang tidak transparan.
“Fenomena dana siluman lahir dari tarik-menarik legislatif dan eksekutif. Sayangnya, rakyat hanya jadi penonton,” katanya.
Dalam sesi tanya jawab, mahasiswa sempat melontarkan ide DPR independen tanpa partai politik. Menjawab itu, Dr. Risnain menekankan pentingnya partai politik yang sehat.
“Problemnya bukan ada atau tidaknya partai, tapi apakah benar partai merepresentasikan rakyat. Kita butuh kaderisasi dan pembiayaan yang transparan,” ujarnya.
Diskusi ditutup dengan refleksi penting: kontrol legislatif harus diperkuat agar tidak hanya ada di atas kertas. Sally mengingatkan bahwa Mahasiswa dan akademisi harus ikut mengawasi.
“Jangan biarkan sistem berjalan sendiri seolah sudah benar. Kita butuh reformasi agar masalah ini tidak menjadi penyakit kronis dalam demokrasi kita,” tutupnya. (*)













