Bima, katada.id – Aliansi Pemerhati Korban PPPK Kabupaten Bima melaporkan dugaan tindak pidana seleksi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) Kabupaten Bima di Polda Nusa Tenggara Barat (NTB), Selasa (21/1).
Ketua Aliansi Pemerhati Korban PPPK Kabupaten Bima, Arif Kurniawan mengungkapkan adanya sejumlah masalah serius dalam proses seleksi PPPK di Pemda Bima. “Dalam laporan yang disampaikan, terdapat beberapa empat dugaan kecurangan yang merugikan banyak honorer yang mengikuti seleksi PPPK,” ungkapnya usai melapor di Polda NTB.
Pertama, Arif menjelaskan adanya dugaan ketidakadilan dalam proses seleksi. Di mana peserta dengan nilai rendah dapat lulus, sementara peserta dengan nilai tinggi justru tidak lulus. “Alasannya karena ada sertifikat, sehingga yang dapat rendah tetap lolos,” ungkapnya.
Kedua, sejumlah honorer tidak mendapatkan Surat Keterangan (Suket) dan Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM) dari kepala sekolah, kepala UPT, Puskesmas, dan dinas terkait. Menurut Arif, hal ini menyebabkan diskriminasi terhadap para honorer.
Masalah lain yang juga diungkapkan adalah ketidaksesuaian jurusan atau kompetensi peserta dalam formasi yang mereka pilih. Arif menyebutkan, beberapa peserta lulus pada formasi yang tidak sesuai dengan kompetensi mereka. “Misalnya peserta di bidang kesehatan justru lulus di formasi teknis,” ujarnya.
Selain itu, Arif juga menyebut adanya dugaan keberadaan “tenaga honorer siluman”. Padahal mereka yang tidak pernah mengabdi di instansi terkait, tidak terdaftar dalam database tenaga honorer kategori (THK) II, namun berhasil lolos dalam seleksi PPPK.
“Ada adik oknum dewan tidak pernah mengabdi, namun lolos PPPK pada formasi guru,” bebernya.
Dalam laporannya, mereka juga menyampaikan adanya honorer yang memiliki catatan kriminal, seperti terlibat kasus narkoba, namun tetap berhasil lolos dalam seleksi PPPK. “Ada yang baru dua bulan bebas dari penjara kasus narkoba, tapi bisa ikut seleksi PPPK dan lulus. Yang bersangkutan lulus sebagai PPPK di RS Sondosia,” ungkapnya.
Arif menyebutkan bahwa ada peserta yang lolos pernah menjadi calon legislatif (caleg). Bahkan, ada yang menjadi pengurus salah satu partai politik ikut seleksi PPPK.
“Sebelum sampaikan laporan tersebut, kami membuka posko dan menerima sekitar 115 honorer yang melapor melalui posko pengaduan, baik secara offline maupun online. Mayoritas mereka mengeluhkan empat masalah utama tersebut,” ungkap Arif.
Ia menyinggung juga praktik transaksional berupa jual beli SK yang diduga terjadi di Pemda Bima. Sebagai tambahan, Arif mengungkapkan dugaan kebocoran anggaran daerah yang mencapai sekitar Rp 80 miliar setiap tahun untuk gaji honorer. “Di Pemda Bima, jumlah honorer tidak berkurang, malah cenderung membengkak, sehingga membebani APBD Kabupaten Bima. Padahal tiap tahun ada ribuan yang lolos PPPK,” kata dia heran.
Terkait dengan dugaan penyimpangan ini, Arif mengungkapkan adanya indikasi keterlibatan oknum-oknum tertentu, seperti kepala sekolah, UPT, Panselda, atau BKD, yang memiliki akses terhadap aplikasi seleksi. Pada tahun 2023, aplikasi seleksi PPPK dapat diakses untuk mengetahui para pelamar yang ikut seleksi. “Namun pada 2024 aplikasi tersebut terkunci, sehingga mempersulit pengawasan,” bebernya.
Terkait dengan temuan-temuan ini, Aliansi Pemerhati Korban PPPK Kabupaten Bima melaporkan dugaan pelanggaran tersebut kepada pihak berwenang, dengan mengacu pada UU ITE, UU Tipikor, serta pemalsuan dokumen. (din)