Oleh: Murad Fadirah dan Rachmad Aldiansyah.
Malang, Katada.id- Tepat satu tahun sejak pelantikan Presiden Prabowo Subianto pada 20 Oktober 2024, evaluasi atas kinerja awal pemerintahan menjadi relevan. Di antara janji ekonomi dan program populis, ada satu klaim yang bergema nyaring di telinga publik soal pemberantasan korupsi bahwa “tidak ada lagi yang tak tersentuh”, no more untouchables. Klaim ini patut di apresiasi sebagai sebuah spirit untuk melawan kejahatan korupsi. Namun harus pula di uji sejauh mana ucapan itu dilaksanakan tanpa memilih ‘siapa’ yang ditindak dan siapa yang dilindungi? Jangan sampai janji ini sekedar teks kosong yang hanya menghiasi pidato tahunan Presiden.
Slogan gagah yang disampaikan Presiden Prabowo ini mesti turun dari podium dan diuji diatas meja realitas. Kita perlu menagih janji tersebut melampaui klaim-klaim statistik dan gebrakan seremonial.
Pertama-tama yang perlu telaah untuk menguji klaim tersebut dengan membedah bukti yang disajikan pemerintah sebagai indikator keseriusannya dalam memberantas korupsi. Misalnya klaim penyelamatan aset negara seluas 3,3 juta hektar lahan sawit yang tersebar di sejumlah wilayah Indonesia dan penutupan 1.000 tambang timah yang diduga ilegal, serta wacana kenaikan gaji hakim sebesar 280 persen dengan harapan dapat memutus rantai korupsi di lingkup peradilan. Selain itu, dalam satu tahun pemerintahannya, Prabowo mengklaim telah berhasil menyelamatkan Rp306 triliun anggaran negara yang rawan di korupsi dan dialihkan ke program-program pro-rakyat.
Namun trobosan diatas masih menimbulkan sejumlah pertanyaan mendasar. Apakah penyelamatan aset negara itu telah menyentuh aktor intelektual di baliknya, atau hanya sekedar menyasar di level operasi lapangan saja? Apakah dengan menaikan gaji hakim secara otomatis memutus jaringan mafia dan makelar kasus di pengadilan,? Dan terpenting dipertanyakan adalah mungkinkah pengalihan anggaran untuk program pro-rakyat (misalnya MBG) itu menjamin tidak ada peluang korupsi di saat program tersebut dikelola dengan pola sentralistik, tertutup, minim partisipasi serta rawan praktik rente?
Ironisnya, sejumlah trobosan diatas justru menunjukan realitas yang kontradiktif. Di satu sisi pemerintah gencar mengumumkan keberhasilan seperti penyelamatan aset dan anggaran negara, namun di sisi lain publik masih di sajikan dengan program yang rentan dengan praktik korupsi. Misalnya, program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang berdasarkan laporan Tempo, berpotensi terjadinya konflik kepentingan dalam pengelolaannya, di mana banyak para penyedia makanan terafiliasi dengan Presiden Prabowo melalui kekerabatan, pertemanan, organisasi, pengurus partai hingga simpatisan pendukungnya dalam Pilpres 2024 lalu.
Program ambisius tersebut juga menuai banyak problematika di tahap pelaksanaanya. Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan sejumlah permasalahan fundamental, diantaranya yang paling krusial adalah keracunan massal yang mencapai angka 6.452 kasus. Selain itu, program MBG dikelola dengan pola sentralistik dan militeristik yang dapat menutup partisipasi publik, minim transparansi dan akuntabilitas serta rawan praktik korupsi dan rente. Dari temuan ini telah mematahkan secara telak soal klaim “no more untouchables”.
Alih-alih memberantas, program ini justru membuka peluang bagi ekosistem baru yang rawan menjadi ladang korupsi. Oleh sebab itu, catatan ini menunjukan, no more untouchables yang diucapkan Presiden Prabowo terlihat paradoks dengan sejumlah fakta di lapangan. Sejalan dengan itu, kontradiksi juga nampak jelas terlihat dari mandeknya RUU Perampasan Aset yang sudah sejak lama diusulkan. Perjalanan RUU Perampasan Aset menurut catatan ICW, pertama kali disusun pada tahun 2008. RUU ini masuk dalam Prolegnas periode tahun 2015-2019 di era pemerintahan Joko Widodo, tetapi tidak pernah dibahas karena tidak masuk dalam program prioritas. Selanjutnya di periode Prolegnas tahun 2020-2024, RUU ini kembali diusulkan namun tidak disetujui DPR. Pada akhirnya DPR dan Pemerintah menyepakati RUU ini masuk ke daftar Prolegnas prioritas 2023, tetapi tak kunjung dibahas oleh DPR meski telah disurati oleh Presiden Joko Widodo. Hingga akhirnya RUU Perampasan Aset kembali masuk dalam Prolegnas 2025-2029 di masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, namun tidak masuk ke dalam daftar program prioritas tahun 2025.
Padahal instrumen hukum ini adalah langkah progresif yang krusial untuk meningkatkan efisiensi pemberantasan korupsi ditengah kondisi negara yang terpuruk akibat cengkeraman korupsi. Hasil survei Transparency International, menunjukan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia (CPI) tahun 2024 berada di skor 37/100 dan berada di peringkat 99 dari 180 negara yang disurvei. Meskipun mengalami kenaikan dibanding tahun 2023, angka ini menunjukan bahwa negara masih menghadapi tantangan serius dan membutuhkan upaya yang ekstra keras dalam melawan korupsi.
Berkaca pada temuan diatas, jika pemerintah benar-benar punya political will untuk memberantas korupsi, mestinya instrumen hukum ini menjadi program prioritas utama untuk di sahkan. Apalagi saat ini sejumlah besar anggota DPR di parlemen berasal dari koalisi partai pendukung pemerintah. Dengan kekuatan politik sebesar itu, mestinya tidak ada lagi alasan teknis atau politik untuk “menyandera” pengesahan RUU ini. Artinya, problem utama lambatnya pengesahan RUU ini adalah masalah political will, bukan political power. Namun demikian, fakta tersebut membuktikan bahwa no more untouchable yang diucapkan Presiden Prabowo nampaknya tidak berlaku bagi figur-figur politik tertentu yang takut aset haram mereka dikejar. Alih-alih menjadi senjata, penyanderaan RUU Perampasan Aset menunjukan siapa yang “tak tersentuh” sebenarnya.
Mencermati fakta-fakta diatas “satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo” belum menunjukan konsistensi untuk memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya sebagaimana yang ia klaim sebagai perkara yang “tidak akan ada lagi yang tak tersentuh”. Klaim no more untouchables itu hanya sebatas gimik retoris, bukan sebuah komitmen menghapus praktik korupsi di Indonesia. Bagaimana tidak, program (MBG) kesayangan Presiden Prabowo yang diklaim pro-rakyat itu justru membuka ruang yang rentan terjadinya praktik korupsi dan konflik kepentingan. Di sisi lain instrumen hukum RUU Perampasan Aset yang digadang-gadang sebagai senjata utama anti korupsi di sandera tanpa diberi kepastian. Untuk itu, tahun pertama pemerintahan Presiden Prabowo “yang tak tersentuh itu”, tidak pernah hilang. Mereka hanya bersembunyi dibalik nama dan program populis.
Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Brawijaya*













