Bima, katada.id – Bupati Bima Hj. Indah Dhamayanti Putri menepis tuduhan terdakwa perkara korupsi bantuan sarana produksi (Saprodi) cetak sawah baru Kabupaten Bima tahun 2016 Muhamad Tayeb soal uang Rp250 juta.
“Bupati Bima menyatakan tidak tahu menahu dan tidak terkait dengan tuduhan seperti yang disampaikan oleh terdakwa MT (Muhamad Tayeb) dalam persidangan,” kata Kabag Prokopim Setda Bima, Suryadin kepada katada.id, Senin (6/2/2023).
Yan, panggilan akrabnya menegaskan, bupati tidak ingin terlalu jauh mengomentari tuduhan tersebut. Terlebih lagi, kasus Saprodi ini sudah ditangani aparat penegak hukum (APH).
“Karena ini sudah masuk ranah proses hukum oleh APH, maka kita serahkan kepada proses hukum yang akan menentukan terbukti atau tidaknya tuduhan tersebut dan Bupati Bima menghormati proses hukum yang sedang berlangsung,” ujarnya.
Kendati demikian, bupati tetap akan mencermati proses hukum yang mengaitkan namanya telah menerima uang Rp250 juta.
“Kita akan cermati proses hukum mengaitkan nama Bupati Bima dengan kasus yang tengah diproses dan silahkan di buktikan dalam persidangan,” tegasnya.
Sebelumnya, terdakwa Tayeb “bernyanyi” saat pembacaan eksepsi atas dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) di Pengadilan Tipikor Mataram, Senin (6/2/2023).
Mantan Kepala Dinas Pertanian, Tanaman Pangan dan Hortikultura (PTPH) ini menyebutkan ada aliran dana kepada Bupati Bima Hj Indah Dhamayanti Putri. Hal itu tertuang dalam eksepsi terdakwa Tayeb poin ke-4 halaman 5 yang dibacakan penasihat hukumnya, Abdul Hanan.
”Adapun penyimpangan dalam tahapan pelaksanaan di lapangan, termasuk penyerahan uang oleh saksi Muhammad (terdakwa) sesuai BAP (Berita Acara Pemeriksaan) kepada Bupati Bima yaitu Indah Dhamayanti Putri Se sebesar Rp250 juta, maka bukanlah tanggung jawab terdakwa sebagai kepala DPTPH, akan tetapi tanggung jawab masing-masing yang melakukan tindak pidana,” ungkap Hanan saat membacakan eksepsi di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin, I Putu Gede Hariadi.
Sebagai informasi, terdakwa Tayeb secara bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi dengan dua orang lainnya, yakni Muhammad, mantan Kepala Bidang Rehabilitasi Pengembangan Lahan dan Perlindungan Tanaman Dinas PTPH Kabupaten Bima, dan Nur Mayangsari, Kepala Seksi (Kasi) Rehabilitasi dan Pengembangan Lahan (RPL) Dinas PTPH Kabupaten Bima nonaktif. Dalam perkara ini, Muhammad dan Nur Mayangsari turut berstatus terdakwa.
Saat itu, Dinas PTPH mendapat alokasi anggaran Rp14,4 miliar dari Kementerian Pertanian RI untuk membantu meningkatkan produksi pangan di Kabupaten Bima. Ada 241 kelompok tani (poktan) di Kabupaten Bima masuk dalam daftar penerima bantuan dengan rincian Rp8,9 miliar untuk 158 poktan yang mengelola sawah seluas 4.447 hektare dan Rp5,5 miliar untuk 83 poktan dengan luas sawah 2.780 hektare. Penyaluran anggaran dikirim secara langsung ke rekening perbankan masing-masing poktan.
Pencairan dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama sebesar Rp10,3 miliar, 70 persen dari total anggaran Rp14,4 miliar, dan 30 persen pada tahap kedua dengan nilai Rp4,1 miliar.
Ketika anggaran tersebut telah masuk ke rekening pribadi poktan, Tayeb sebagai PPK mengeluarkan perintah untuk melakukan penarikan tunai kepada poktan. Uang tersebut diminta untuk dikumpulkan kembali di Dinas PTPH Kabupaten Bima.
Pengumpulan anggaran yang seharusnya dikelola mandiri oleh masing-masing poktan itu ditarik kembali atas perintah terdakwa Tayeb. Penarikan tidak dibuktikan dengan adanya nota penyerahan.
Setelah uang terkumpul dari poktan, atas perintah M. Tayeb, Muhammad bersama Nur Mayangsari melakukan pembayaran ke CV Mitra Agro Santosa yang beralamat di Jombang, Jawa Timur. Penunjukan CV Mitra Agro Santosa sebagai penyedia saprodi berada di bawah perintah Tayeb.
Barang-barang yang dibeli dari perusahaan tersebut antara lain, benih padi, pupuk, dan pestisida. Namun, ada beberapa item barang yang tidak bisa disediakan CV Mitra Agro Santosa sehingga ada yang dibeli dari perusahaan penyedia lokal.
Nur Mayangsari sebagai bawahan Muhammad juga mendapatkan perintah membuat dua nota pesanan saprodi untuk CV Mitra Agro Santosa dengan rincian nota pertama sejumlah Rp8,9 miliar dan untuk pesanan kedua Rp1,7 miliar.
Pemesanan saprodi tersebut tidak sesuai dengan luas sawah kelompok tani yang terdaftar dalam petunjuk pelaksanaan. Sehingga terdapat kekurangan yang kini muncul sebagai nilai kerugian negara sebesar Rp5,1 miliar. (ain)