MATARAM-Perkara korupsi pembangunan gedung Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Insan Cendekia Lombok Timur (Lotim) melibatkan pasangan suami istri (Pasutri). Keduanya merupakan rekanan proyek yang dikerjakan pada 2015 lalu. Wakiran selaku Komisaris PT Elita Mataram dan Rubiatun selaku Direktur PT Elita Mataram
Hakim Pengadilan Tipikor Mataram menghukum pasutri tersebut dengan pidana 1 tahun penjara. Selain keduanya, hakim juga menghukum terdakwa Yunus Syihabi selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Direktur PT Archi Teknik L Syukraningrat selaku konsultan pengawas dengan pidana penjara 1 tahun.
Ketua Majelis Hakim Anak Agung Ngrurah Rajendra tidak hanya menjatuhkan hukuman badan. Tetapi, empat terdakwa dibebankan juga denda Rp 50 juta subsider 1 bulan.
Keempat terdakwa terbukti melanggar pasal 3 juncto pasal 18 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi. ’’Terdakwa dinyatakan bersalah melakukan korupsi dijatuhi hukuman 1 tahun penjara,’’ baca Rajendra dalam amar putusannya, Rabu (10/7).
Setelah membacakan putusan, Rajendra memberikan kesempatan kepada para terdakwa untuk menanggapi putusan. Terdakwa Yunus dan Syukraningrat yang diberikan kesempatan pertama tidak melakukan upaya hukum lain. ”Kami menerima putusan hakim,” ujar mereka kompak.
Sementara Pasutri, Rubiatun dan Wakiran menanggapi putusan dengan menyatakan pikir-pikir. “Kami pikir-pikir dulu majelis hakim,” katanya.
Hal yang sama diambil Jaksa Penuntut Umum (JPU) Riauzin. Ia masih pikir-pikir meski putusan lebih ringan dari tuntutan jaksa. Sebelumnya, jaksa menuntut para terdakwa dengan pidana penjara 1 tahun 6 bulan dan denda Rp 50 juta subsider tiga bulan kurungan. ”Kami juga masih pikir-pikir,” jelas Riauzin.
Di luar sidang, Ketut Sumertha selaku penasihat hukum Rubiatun dan Wakiran mengaku tidak puas dengan keputusan hakim. Ia berdalih kliennya sudah mengerjakan proyek sesuai dengan spesifiksinya.
Awalnya, munculnya kerugian negara karena dianggap bangunan tidak sesuai spek. Diduga kliennya menggunakan besi silinder 4 inci sementara di RAB menggunakan besi silinder 6 inci. “Ketika pemeriksaan setempat (PS) besi yang digunakan sesuai dengan spek,” ungkapnya.
Untuk upaya banding, ia belum bisa mengambil keputusan. Sumertha akan mendiskusikan dengan kliennya. ”Kita bicarakan dulu dengan klien,” terangnya.
Sebagai Informasi, pada pengerjaan sekolah tersebut BPK menemukan kerugian negara sebesar Rp 757 juta. Namun, yang dikembalikan hanya sekitar Rp 275 juta.
Lalu, nilai kerugian negara berkurang setelah ada fakta baru di persidangan. Hal itu muncul dari hasil PS. Kerugian negara terkoreksi menjadi Rp 656 juta. Setelah dikoreksi lebih lanjut, final perhitungan kerugian negara mencapai Rp 381,21 juta. Kerugian negara sudah dikembalikan terdakwa.
Proyek sekolah itu sesuai kontrak harus selesai 31 Desember 2015. Namun ternyata molor sampai 12 Januari 2016. Dalam proyek tersebut, terdakwa Syukraningrat sebagai konsultas pengawas membantu Wakiran dan Rubiatun untuk membuat laporan pekerjaan yang progresnya 100 persen. Berdasarkan laporan itu akhirnya terdakwa Yunus sebagai PPK membayar lunas. (one)