Jakarta, katada.id – Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga menyoroti tren kenaikan perkawinan anak di Nusa Tenggara Barat (NTB).
Ia mendukung komitmen Provinsi NTB dalam mencegah perkawinan anak melalui ditetapkannya komitmen bersama antar Ketua Pengadilan Tinggi Agama NTB, Kepala Kantor Kementerian Agama NTB, Ketua Majelis Ulama Indonesia NTB, kepala desa/lurah, tokoh adat dan tokoh agama.
“Komitmen bersama tersebut diharapkan dapat menjadi implementasi nyata dalam mencegah perkawinan anak hingga ke akar rumput melalui sanksi sosial,” katanya.
Data Badan Pusat Statistik tahun 2023 menunjukan angka perkawinan anak di Indonesia mengalami penurunan, yakni 6,92 persen di tahun 2023 dari 8,06 persen di tahun 2022. “Namun sayangnya, perkawinan anak di Provinsi NTB justru mengalami kenaikan dari tahun 2022 sebesar 16,23 persen menjadi 17,32 persen di tahun 2023,” sorotnya.
Provinsi NTB sebenarnya sudah memiliki kebijakan yang responsif dalam mencegah perkawinan anak, mulai dari Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2021 tentang Pencegahan Perkawinan Anak, Peraturan Gubernur (Pergub) Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 34 Tahun 2023 tentang Rencana Aksi Daerah Pencegahan Perkawinan Anak Tahun 2023-2026, hingga membentuk Satuan Tugas Pencegahan Perkawinan Anak (Satgas PPA) yang ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.
Menteri PPPA menyampaikan deklarasi dan komitmen pencegahan perkawinan anak dari tokoh masyarakat, tokoh adat dan tokoh agama menjadi sangat penting. Hal tersebut dilakukan untuk memastikan bahwa kebijakan yang ada dari level provinsi bisa diimplementasikan dan dikawal sampai ke akar rumput.
“Di beberapa daerah kami mendengar praktik-praktik baik dalam mencegah perkawinan anak, salah satunya melalui pemberian sanksi sosial. Sanksi sosial ini sangat efektif ketika diberlakukan di desa-desa. Contohnya yaitu ketika tokoh adat, tokoh agama, dan kepala desa ini tidak hadir dalam acara perkawinan yang mempelainya anak, hal itu memberikan pesan yang kuat kepada masyarakat,” tutur Bintang.
Komitmen Pencegahan Perkawinan Anak memuat tentang; (1) seluruh kepala desa/lurah menyusun peraturan desa/peraturan lurah/awig-awig dengan memuat sanksi sosial dan administratif berupa tidak diberikan izin melaksanakan pesta pernikahan; (2) seluruh tokoh adat, tokoh agama dan imam desa melakukan upaya pencegahan perkawinan anak di lingkungan keluarga dan masyarakat; (3) berkomitmen melaksanakan Undang-undang Nomor 16 tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menetapkan batas usia menikah baik laki-laki maupun perempuan yaitu 19 tahun.
Melanjutkan hal itu, Deklarasi Pencegahan Perkawinan Anak “Stop Merariq Kodeq” menekankan komitmen Kepala Desa/Lurah dalam menyusun regulasi yang memuat tentang; (1) Sanksi sosial berupa perkawinan tidak dihadiri oleh pemerintah desa dan pemerintah kelurahan, imam desa dan imam kelurahan, imam dusun dan imam lingkungan, dan pegawai syara’; (2) sanksi administratif berupa tidak diberikan izin melakukan pesta pernikahan; dan (3) sanksi wajib hadir dalam rapat desa/kelurahan, jika orang tua melakukan perkawinan pada usia anak.
“Saya harapkan komitmen yang sudah ditandatangani oleh Pengadilan Tinggi Agama NTB, Kementerian Agama Provinsi NTB, MUI NTB, para tokoh masyarakat dan tokoh agama ini betul-betul dapat diimplementasikan. Nantinya, para kepala desa, lurah, dan tokoh agama diharapkan juga dapat memberikan sosialisasi terkait pentingnya pencegahan perkawinan anak kepada masyarakat di lingkungannya. Untuk mendukung upaya tersebut, para mitra pembangunan diharapkan bisa saling bersinergi, karena isu perkawinan anak merupakan isu yang kompleks dan membutuhkan kolaborasi lintas sektor,” jelas Menteri PPPA.
Menteri PPPA optimis dengan komitmen dari pemerintah daerah, desa dan tokoh-tokoh agama maka angka perkawinan anak di NTB dapat diturunkan. Syaratnya adalah semua pihak saling membantu dan benar-benar mengimplementasikan kebijakan yang telah dibuat menjadi kegiatan-kegiatan yang nyata.
Pj Gubernur Provinsi NTB, Lalu Gita Ariadi mengapresiasi upaya Kemen PPPA dalam memberikan perhatian dan pendampingan pencegahan perkawinan anak di NTB. “Provinsi lain mengalami penurunan angka perkawinan anak, sementara di NTB terdapat anomali dimana angkanya naik. Hal ini merupakan kondisi darurat, kita tidak bisa menganggap ini masalah biasa. Seluruh lembaga dan aparatur yang kita miliki harus berupaya bersama-sama menyelesaikan permasalahan ini,” kata Lalu Gita.
Lalu Gita mendorong instansi perangkat daerah NTB untuk memetakan 50 desa yang tinggi angka perkawinan anaknya dan beririsan dengan masalah-masalah lain seperti stunting, kemiskinan ekstrim, putus sekolah dan masalah lainnya. Nantinya akan dilakukan intervensi terhadap permasalahan yang ada dan penganggaran yang lebih responsif dalam menangani isu perkawinan anak. (tik)