Mataram, katada.id – Terdakwa perkara korupsi Sarana Produksi (Saprodi) Cetak Sawah Baru, Muhamad Tayeb tetap konsisten dengan pernyataannya soal dugaan aliran dana Rp250 juta ke Bupati Bima Hj Indah Dhamayanti Putri.
”Tidak dicabut. Tetap konsisten dengan pernyataan sebelumnya,” kata terdakwa Tayeb melalui penasihat hukumnya, Aan Ramadhan kepada wartawan di Pengadilan Tipikor Mataram, Senin (13/2/2023).
Dalam eksepsinya, Senin (6/2/2023), terdakwa Tayeb selaku mantan Kepala Dinas Pertanian, Tanaman Pangan dan Hortikultura (PTPH) Bima ini menyebutkan ada aliran dana kepada Bupati Bima Hj Indah Dhamayanti Putri. Uang tersebut diserahkan saksi Muhammad (terdakwa) kepada Bupati Bima sebesar Rp250 juta.
Dugaan itu berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) saksi Muhammad pada halaman 18. ”Bunyi eksepsi itu kan dikutip dari BAP Pak Muhammad. Itu bukan di BAP klien kami. Silakan buka BAP Pak Muhammad,” tegas Aan.
Terdakwa Tayeb siap mempertanggungjawabkan pernyataan tersebut. Meski sebelumnya Bupati Bima telah membantah telah menerima uang seperti tuduhan terdakwa Tayeb. ”Kita akan buktikan di persidangan nanti,” tegas Aan.
Lebih lanjut, ia menjelaskan, dalam proyek Saprodi Cetak Sawah Baru ini kliennya hanya mengurus administrasi saja. ”Peran Pak Tayeb di kasus ini hanya administrasi. Kalau mengatur dan mengelola keuangan tak ada Pak Tayeb,” ungkapnya.
Sebelumnya, Bupati Bima, Hj Indah Dhamayanti Putri membantah menerima uang proyek Saprodi cetak sawah baru Rp250 juta. “Silahkan dibuktikan dalam persidangan,” tegas bupati melalui Kabag Protokol dan Komunikasi Pimpinan Setda Bima, Suryadin, Selasa (7/2/2023).
Bupati Bima menegaskan tidak tahu menahu mengenai aliran dana tersebut dan tidak terkait dengan tuduhan terdakwa Tayeb dalam persidangan.
“Karena ini sudah masuk ranah proses hukum oleh APH (Aparat Penegak Hukum), maka kita serahkan kepada proses hukum yang akan menentukan terbukti atau tidaknya tuduhan tersebut,” ujarnya.
Sebagai informasi, terdakwa Tayeb secara bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi dengan dua orang lainnya, yakni Muhammad, mantan Kepala Bidang Rehabilitasi Pengembangan Lahan dan Perlindungan Tanaman Dinas PTPH Kabupaten Bima, dan Nur Mayangsari, Kepala Seksi (Kasi) Rehabilitasi dan Pengembangan Lahan (RPL) Dinas PTPH Kabupaten Bima nonaktif. Dalam perkara ini, Muhammad dan Nur Mayangsari turut berstatus terdakwa.
Saat itu, Dinas PTPH mendapat alokasi anggaran Rp14,4 miliar dari Kementerian Pertanian RI untuk membantu meningkatkan produksi pangan di Kabupaten Bima. Ada 241 kelompok tani (poktan) di Kabupaten Bima masuk dalam daftar penerima bantuan dengan rincian Rp8,9 miliar untuk 158 poktan yang mengelola sawah seluas 4.447 hektare dan Rp5,5 miliar untuk 83 poktan dengan luas sawah 2.780 hektare. Penyaluran anggaran dikirim secara langsung ke rekening perbankan masing-masing poktan.
Pencairan dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama sebesar Rp10,3 miliar, 70 persen dari total anggaran Rp14,4 miliar, dan 30 persen pada tahap kedua dengan nilai Rp4,1 miliar.
Ketika anggaran tersebut telah masuk ke rekening pribadi poktan, Tayeb sebagai PPK mengeluarkan perintah untuk melakukan penarikan tunai kepada poktan. Uang tersebut diminta untuk dikumpulkan kembali di Dinas PTPH Kabupaten Bima.
Pengumpulan anggaran yang seharusnya dikelola mandiri oleh masing-masing poktan itu ditarik kembali atas perintah terdakwa Tayeb. Penarikan tidak dibuktikan dengan adanya nota penyerahan.
Setelah uang terkumpul dari poktan, atas perintah M. Tayeb, Muhammad bersama Nur Mayangsari melakukan pembayaran ke CV Mitra Agro Santosa yang beralamat di Jombang, Jawa Timur. Penunjukan CV Mitra Agro Santosa sebagai penyedia saprodi berada di bawah perintah Tayeb.
Barang-barang yang dibeli dari perusahaan tersebut antara lain, benih padi, pupuk, dan pestisida. Namun, ada beberapa item barang yang tidak bisa disediakan CV Mitra Agro Santosa sehingga ada yang dibeli dari perusahaan penyedia lokal.
Nur Mayangsari sebagai bawahan Muhammad juga mendapatkan perintah membuat dua nota pesanan saprodi untuk CV Mitra Agro Santosa dengan rincian nota pertama sejumlah Rp8,9 miliar dan untuk pesanan kedua Rp1,7 miliar.
Pemesanan saprodi tersebut tidak sesuai dengan luas sawah kelompok tani yang terdaftar dalam petunjuk pelaksanaan. Sehingga terdapat kekurangan yang kini muncul sebagai nilai kerugian negara sebesar Rp5,1 miliar. (ain)