Oligarki Kekuasaan di Pusaran Korupsi Politik Lokal

0

Oleh: Yasser Arafat SH. MH

Pasca reformasi, tuntutan perbaikan iklim politik nasional dan lokal terus mengemuka dan menguat di setiap pembicaraan para pakar dalam berbagai forum akademis. Seperti seminar, lokakarya hingga pembicaraan tukang sate dan buruh pabrik di warung kopi. Bahwa perbaikan sistem politik, hukum, ekonomi dan pembangunan merupakan tuntutan serius untuk segera diambil guna mengatasi dan menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi. Misalnya tumbuh subur dan mengguritanya praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme sejak rezim orba berkuasa.

Selama 32 tahun orba berkuasa, kekuasaan menjadi oligarkis dan sentalistik. Dimana skema kekuasaan cenderung tertutup, represif dengan tujuan menjaga wibawa kekuasan agar tetap dihormati, diikuti dan ditakuti. Karena watak kekuasaan yang dibangun adalah kekuasaan bersifat otoriter anti kritik, anti pembangkangan. Sehingga sumber-sumber kekuasaan harus dilindungi agar legitimasi kekuasaan menjalar hingga daerah-daerah. Dan desa sebagai muara akhir kekuasaan harus berperan aktif menjaga kewibawaan negara dan pemerintah.

Orba merupakan lambang kekuasaan yang sangat tertutup yang dijaga secara ketat melalui pengerahan kesetiaan aparat pada negara, akhirnya juga mengalami pelapukan fungsi karena lemahnya pengawasan civil society dan menguatnya peran sentral pemimpin negara yang melampui kekuasaan yang dimiliki negara. Sehingga kekuasaan mengalami pembusukan akibat menuanya sistem pengawasan yang lemah. Berakhirnya rezim orba merupakan awal kebangkitan masa depan baru arah politik nasional dan lokal pasca kekuatan civil society memenangkan dan mengambil panggung politik politik nasional.

Era reformasi dianggap sebagai tonggak awal memasuki era baru kehidupan politik masyarakat Indonesia yang betul-betul demokratis, terbuka, dan partisipatif. Itu setelah selama 32 tahun praktek politik oligarki mengunci kebebasan berpendapat, berkumpul dan berserikat masyarakat sipil untuk mengikuti kehendak politik penguasa yang mematikan saluran kebebasan untuk menyampaikan aspirasi yang dilindungi oleh hukum.

Di era reformasi harapan akan keadilan diberbagai bidang kehidupan semakin terbuka lebar di saat pemerintah mulai serius menata kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya melalui agenda reformasi bidang politik dan hukum untuk melakukan evaluasi ulang beberapa kegagalan dari rezim sebelumnya. Misalnya agenda amandemen UUD 1945 yang dilakukan sebanyak empat kali. Amandemen tersebut menghasilkan beberapa kebijakan strategis. Seperti penguatan peran lembaga legislatif yang sebelumnya hanya menjadi stempel kekuasaan, mengubah sistem pemilihan presiden dari pemilihan oleh MPR menjadi pemilihan langsung, menentukan besarnya alokasi biaya pendidikan sebesar 4 dalam konstitusi, penguatan peran politik daerah melalui kelembagaan DPD, membentuk lembaga MK sebagai penjaga konstitusi agar kekuasaan negara dapat diawasi secara ketat. Dan yang sangat penting penguatan politik di aras lokal tingkat melalui amandemen pasal 18 UUD 1945 sebagai wujud keseriusan pemerintah memperhatikan konsolidasi politik lokal di daerah.

Amandemen UUD 1945 memberikan dampak langsung bagi bangunan politik di pemerintahan lokal sebagai tindak lanjut dari perubahan UUD 1945 adalah dikeluarkannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Kekuasaan Pemerintah Pusat dan Daerah. Kedua UU ini sangat memberi warna bagi penguatan pemerintah lokal di daerah, setelah 21 tahun reformasi bergulir ketentuan tentang pemerintah daerah telah beberapa kali mengalami perubahan.

Pergeseran Kekuasaan dan Sirkulasi Elit

Sorotan mata publik terpancar kebahagiaan ketika otonomi daerah diberikan oleh pemerintah kepada daerah walaupun salah konsep karena otonomi harusnya diberikan kepada propinsi bukan kab/kota. Tetapi masyarakat menyambut penuh antusias, karena daerah diberikan kewenangan untuk mengatur, mengelola dan memanfaatkan potensi SDA dan SDM yang ada secara nyata dan bertanggung jawab. Itu untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat di daerah dengan membuka kesempatan kerja melalui penyediaan lapangan kerja yang tercukupi sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh daerah.

Otonomi menyumbang devisa bagi kemajuan daerah dalam rangka percepatan dan pemerataan pembangunan masyarakat di daerah. Karena daerah diberikan alokasi dana yang cukup besar dari pemerintah melalui dana DAU, DAK, hibah dan suntikan dana segar lain yang bersumber lobi-lobi kepala daerah dengan berbagai stakeholder memanfaatkan jaringan kekuasaan lintas kementerian, partai politik dan kerjasama dengan pihak swasta.

Jaringan kekuasaan yang dibangun dan terkoneksi dengan banyak pihak. Tentu menjadi pundi-pundi kekayaan yang berpotensi disalahgunakan oleh penguasa di daerah untuk melanggeng kekuasaan atau membangun dinasti kerajaan kecil agar transisi kekuasan bertumpu pada sirkulasi elit dalam lingkaran kolega, keluarga dan kerabat untuk melindungi dan membentengi diri dari jeratan hukum ketika kemudian hari terbukti melakukan perbuatan yang melanggar hukum. Potret semacam ini menjadi ancaman bagi kelangsungan negara yang baru membangun konsolidasi demokrasi.

Adapun bahaya laten mengintai dan mengoyak kekuatan demokrasi adalah pemusatan kekuasaan dalam lingkaran oligarki kelompok keluarga dan kerabat karena rawan terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Apalagi jika kekuasaan tersebut telah diplot secara tersembunyi sedemikian rupa agar tetap kelihatan demokratis untuk menutupi bangkai kejahatan yang disembunyikan supaya tidak tercium publik. Padahal kejahatan walaupun larinya secepat kilat tetap dikemudian hari akan terungkap.

Di tengah kuat dan mengakarnya gerakan politik kekuasaan di aras politik lokal pasca reformasi melalui politisasi birokrasi dan polarisasi masyarakat menunjukkan adanya usaha serius dan terselubung untuk mengkonsolidasi kekuatan di semua lini dengan tujuan mempertahankan atau menjaga kekuasaan agar tidak berpindah tangan atau ganti kamar. Kalaupun berpindah tangan atau ganti kamar tetapi tetap dalam rumah yang sama, potret ini mengkonfirmasi bahwa tekanan daya tarik kekuasaan begitu dahsyat dan kuat membuat orang lupa diri.

Kita dapat menyaksikan dengan mata telanjang setiap kali pergeseran atau transisi kekuasaan di setiap perhelatan demokrasi lokal bagaimana menguatnya dan kental praktik politik oligarki kekuasaan (baca dinasti). Di mana lingkaran keluarga, kerabat dan kolega mendominasi calon kepala daerah, legislatif bahkan sudah sampai tingkat yang paling bawah. Politik dinasti bukan berarti tidak baik atau buruk tetapi cenderung mengalami pelapukan fungsi karena lemahnya kontrol dan cenderung banyak kebijakan yang bersifat politis dan tertutup karena kepentingan saling melindungi dan menutupi kesalahan yang terjadi.

Oligarki Kekuasaan di Panggung Politik Lokal

Di pentas politik lokal, oligarki kekuasaan selalu mengalami penguatan ketika konsolidasi kekuasaan terus diperbaiki dan diperbaharui pasca pilkada untuk memperkuat kembali posisi dan peran masing-masing agar kekuasaan tetapi langgeng. Cara ampuh untuk mempertahankan kekuasaan adalah menempatkan orang-orang terdekat dan kepercayaan dipusaran kekuasaan formil dan informal. Itu untuk memudahkan dan memuluskan semua rencana yang telah disusun sebelumnya, baik agenda terbuka untuk kepentingan publik atau agenda terselebung untuk mengamankan kepentingan pribadi, keluarga, dan kolega lewat konsesi jasa, fee proyek, jatah jual beli jabatan dan pengaruh melalui paket negosiasi dan kompromi tersembunyi dibalik layar.

Oligarki kekuasaan dalam dinamika politik lokal telah menyuburkan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme hampir di semua lini. Di mana birokrasi telah menjadi alat kekuasan penguasa untuk mengatur dan mengendalikan kepentingannya, sehingga birokrasi telah berubah menjadi alat politik penguasa. Bukan lagi berfungsi sebagai organisasi negara yang profesional yang memiliki tugas mulia melayani, dan mengayomi masyarakat sebagai abdi negara bukan sebaliknya.

Akhirnya birokrasi menjadi keropos, rentan disusupi kepentingan politik, mudah terprovokasi, tidak lagi netral dan berkualitas, daya kritisnya melemah, profesionalnya berkurang, dan kreatifitasnya menurun akibat instruksi kekuasaan yang terlalu politis. Sehingga bukan lagi rahasia bahwa alasan mutasi dan rotasi adalah didasarkan pada pandangan politik like and dislike karena berbeda pilihan politik pada waktu pilkada, sehingga birokrasi menjadi terbelah dan terbagi dalam banyak kelompok.

Kekuasaan Oligarki di Pusaran Korupsi

Banyak pengamat yang memberikan pandangan dan komentar ketika awal-awal wacana otonomi digulirkan, bahwa ketakutan mereka adalah munculnya raja-raja kecil di setiap daerah yang mengusai sumber-sumber aset di daerah. Mereka dikhawatirkan akan membangun semacam dinasti pemerintahan kecil yang menguntungkan kelompok keluarga, kerabat dan kolega serta akan terus menjaga dan memilihara kelangsungan kekuasaan yang korup.

Praktek penyelewengan kekuasan semakin terlihat jelas di dalam arena kekuasaan politik lokal yang melibatkan banyak pihak baik elsekutif, legislatif dan pengusaha mereka mengatur anggaran melalui skema pembagian paket proyek, paket program yang semuanya telah ditentukan diawal berdasarkan pendekatan kompromi, kompensasi dan konsesi. Praktek pengaturan paket proyek semacam ini adalah bagian dari upaya memperbesar dan memperkuat posisi kekuasaan agar tetap bisa bertahan dalam jangka waktu yang lama.

Dari rentetan kejadian kasus penangkapan kepala daerah, anggota DPR, DPRD, DPD dan para pengusaha oleh KPK, menunjukkan betapa lemahnya sistem perencanaan dan pengawasan anggaran di lembanga eksekutif, legislatif dan kuatnya tawar menawar kepentingan politik kartel dagangan sapi di lembaga-lembaga negara dan politik baik dipusat maupun di daerah.

Skandal korupsi di era otonomi beragam modus operandinya. Mulai dari yang sederhana seperti SPPD fiktif, lelang aset, jual beli jabatan, memperdagangkan pengaruh dan lainnya, sampai ke cara canggih yang sulit kedeteksi. Misalnya meminta fee proyek melalui tangan siluman kekuasaan yang bersembunyi dibalik suara bisikan lembut penguasa. Praktek korupsi kekuasaan yang melembaga dalam struktur kekuasaan resmi negara sulit diberantas karena ada kesan merampok secara berjamaah. Sehingga muncul kekompakkan untuk saling melindungi dan menutupi kesalahan masing-masing.

Kasus korupsi di era otonomi bisa melembaga secara terstruktur, sistematis dan masif kalau berkaca pada Ratut Atut dan Tubagus Hairul Wardhana di Banten, bagaimana dengan keluasanya mengatur, menentukan dan mengendalikan aliran dana proyek dalam jumlah yang fantastis yang merugikan keuangan negara. Praktek korupsi demikian tidak menutupi kemungkinan terjadi hampir di setiap daerah karena ruangnya terbuka lebar jika penguasa mau bermain dengan besarnya kekuasaan dan kewenangan yang dimilikinya. ***

Penulis, Dosen STKIP Bima

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here