Lalu Nazir Huda (Ketua BEM Universitas Mataram)
Di balik retorika investasi dan industrialisasi tambang yang dikampanyekan oleh negara melalui anak usaha BUMN, PT Gag Nikel—yang merupakan anak perusahaan dari PT Antam Tbk—tersimpan sebuah ancaman senyap yang menggerogoti tubuh ekologis tanah Papua Barat Daya.
Tambang nikel di Pulau Gag bukan sekadar isu ekonomi, melainkan skandal ekologis dan moral yang mengancam Raja Ampat sebagai surga terakhir yang Tuhan wariskan kepada Nusantara.
Studi lapangan yang dilakukan oleh Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Papua Barat menyebutkan bahwa proses eksplorasi dan pembukaan lahan di Pulau Gag telah menimbulkan kerusakan pada kawasan hutan hujan tropis, terganggunya sumber air bersih masyarakat, dan mulai rusaknya kawasan pesisir. Aktivitas pertambangan juga memicu deforestasi yang berbanding lurus dengan meningkatnya risiko longsor, banjir bandang, serta perubahan iklim mikro yang berdampak pada habitat endemik Papua.
Menurut kajian oleh lembaga Conservation International (CI) dan World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia, perubahan bentang alam dan pola aliran air akibat aktivitas tambang di Pulau Gag akan meningkatkan risiko sedimentasi laut, memicu kerusakan terumbu karang, serta menurunkan produktivitas perikanan nelayan lokal. Sebagaimana diketahui, Raja Ampat adalah pusat keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia, dengan lebih dari 1.500 spesies ikan, 600 spesies karang, dan menjadi tempat tinggal bagi mamalia laut langka seperti duyung dan paus Bryde. Semua itu berpotensi rusak secara permanen hanya demi nikel yang bisa habis dalam dua dekade.
Sementara itu, berdasarkan riset dalam jurnal internasional Marine Pollution Bulletin (2022), disebutkan bahwa logam berat dari aktivitas pertambangan nikel di wilayah pesisir cenderung meresap ke dalam jaringan organisme laut dan membentuk rantai biomagnifikasi yang mengancam keselamatan pangan dan kesehatan manusia. Pulau Gag, yang sebelumnya merupakan bagian dari cagar konservasi alam, kini tergerus oleh ambisi ekstraktif.
Jika kita merujuk pada peraturan di negara ini, kita akan kembali kepada UUD 1945 Pasal 33 Ayat (4) yang menekankan bahwa “pembangunan ekonomi harus berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.” Di sisi lain, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mewajibkan adanya Kajian Lingkungan Hidup Strategis sebelum kebijakan besar termasuk pertambangan dijalankan.
Menyoroti pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Indonesia, Bahlil Lahadalia, yang mengatakan bahwa Pulau Gag yang berjarak 40 km dari Raja Ampat tidak termasuk dalam Kawasan Konservasi Perairan (KKP), merupakan klaim yang mengabaikan prinsip-prinsip ekologi lanskap (landscape ecology). Dalam ekologi modern, jarak geografis tidak serta-merta memisahkan ekosistem. Pulau Gag merupakan bagian dari zona penyangga atau buffer zone Raja Ampat yang secara ekologis terkoneksi melalui arus laut, sistem terumbu karang, hingga jaringan keanekaragaman hayati laut.
Pernyataan kontradiktif Bahlil bahwa izin tambang sudah ada sebelum ia menjabat, namun di saat yang sama merasa tidak perlu bertanggung jawab, adalah bentuk pembiaran aktif dan abdication of duty yang membahayakan integritas negara dalam pengelolaan sumber daya alam. Kegagalan membaca dampak ekologis, minimnya koordinasi dengan KLHK, serta kecenderungan bermain retorika cuci tangan adalah bentuk kelalaian pejabat negara yang tidak bisa ditoleransi. Bahlil terlalu sering membuat kebijakan berbasis lobi investor, bukan berbasis keberlanjutan. Dalam isu Pulau Gag, kita melihat bukan sekadar ketidaktahuan, tapi ada potensi pembiaran sistematis terhadap kehancuran ekologi. Permasalahan ini harus menjadi perhatian serius Presiden Prabowo Subianto untuk segera mengevaluasi dan mengganti menteri yang tidak bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan, khususnya di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Hingga saat ini, tidak ada laporan publik atau data ilmiah terbuka yang menunjukkan Kajian Lingkungan Hidup (KLH) yang komprehensif telah dilakukan oleh PT Gag Nikel. Bahkan, pernyataan Bahlil yang menyebutkan bahwa tidak ada kerusakan lingkungan terkesan sembrono dan melampaui kewenangan, sebab penilaian tersebut seharusnya menjadi domain Kementerian LHK dan para ahli lingkungan, bukan domain Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yang berkepentingan langsung pada akselerasi proyek.
Raja Ampat bukan milik pemerintah, bukan milik investor. Itu adalah warisan Tuhan untuk seluruh anak bangsa dan dunia. Menjadikan wilayah sekitar Raja Ampat sebagai ladang tambang sama dengan menulis surat kematian bagi keanekaragaman hayati terakhir yang masih tersisa di Nusantara. Pulau Gag tidak bisa dipisahkan dari Raja Ampat secara ekologis, dan membiarkan tambang berlangsung di sana sama saja seperti menambang di pelataran Ka’bah lingkungan Indonesia.
Maka, Presiden Prabowo Subianto harus segera mencopot Menteri Bahlil Lahadalia dari jabatannya. Negara tidak boleh dipimpin oleh menteri yang abai, blunder, dan potensial bermain dalam jaringan oligarki investasi.
Menurut Guru Besar Hukum Lingkungan Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Dr. Siti Sundari Rachman, setiap eksploitasi sumber daya alam yang berdampak besar dan penting terhadap lingkungan wajib melalui proses yang transparan, partisipatif, dan berbasis ilmu pengetahuan. Jika menteri berkomentar tanpa dasar itu, maka negara sedang dijalankan berdasarkan opini, bukan hukum.
Mari bangun solidaritas dan kekuatan untuk melawan serta menggugat segala bentuk penindasan terhadap kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat Indonesia.
Maka dari itu, saya meminta dan menegaskan kepada pemerintah saat ini untuk:
1. Mencabut izin PT Gag Nikel dan menghentikan segala bentuk proses pertambangan.
2. Menolak segala bentuk aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh PT Gag Nikel.
3. Memberikan keterlibatan publik seluas-luasnya dalam pengambilan dan pertimbangan keputusan kebijakan pemerintah.
4. Memecat dan mengadili Menteri ESDM serta seluruh oknum yang terlibat dalam proses perusakan melalui eksplorasi dan eksploitasi tambang di seluruh Indonesia, khususnya oleh PT Gag Nikel.