BPK Temukan Belanja Rp 2,5 Miliar di RSUD Sumbawa Tak Didukung Bukti dan Pemberian Fee ke Penyedia Barang

0
Kantor BPK NTB. (Istimewa)

Sumbawa, katada.id – Pengelolaan anggaran di RSUD Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB) diduga bermasalah. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) NTB menemukan adanya pengadaan barang dan jasa tidak didukung bukti.

Selain itu, BPK juga menemukan pemberian fee terhadap perusahaan yang dipinjam untuk penyedia barang RSUD Sumbawa.

Pada 2023, RSUD Sumbawa mengelola anggaran Rp 64.128.037.011. Anggaran tersebut untuk belanja ATK, bahan bakar, bahan dan alat kebersihan, makan minum petugas, belanja cetak, makanan dan minuman rapat, dan pemeliharaan ambulans, pemeliharaan instalasi dan jaringan, pemeliharaan kendaraan dinas, pemeliharaan kendaraan kantor dan rumah tangga, pemeliharaan sarana dan prasarana mesin, pemeliharaan sarana dan prasarana pendingin ruangan, belanja penggandaan, serta belanja perlengkapan dan peralatan rumah tangga.

BPK melakukan audit transaksi pengadaan barang dan jasa pada 22 penyedia dengan nilai belanja Rp 2.726.628.735. Dari hasil pemeriksaan, BPK menemukan penggunaan anggaran tersebut menunjukkan adanya pemberian fee kepada perusahaan yang dipinjam namanya untuk penyedia barang Rp 52.769.318.

BPK juga menemukan kelebihan pembayaran karena selisih harga pengadaan makan dan minum yang diakui rekanan penyedia riil serta selisih harga pengadaan BBM Rp 80.678.490. BPK juga mengungkapkan adanya pertanggungjawaban belanja barang tidak didukung bukti senilai Rp 2.540.383.187.

Berdasarkan laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPK, fee dalam pengadaan barang dan jasa pada RSUD Sumbawa Rp 52 juta lebih itu diberikan kepada perusahaan yang dipinjam namanya. Sehingga perusahaan yang tertera dalam surat pertanggungjawaban (SPJ), sebenarnya bukan penyedia riil.

Tim BPK telah mengkonfirmasi kepada pihak penyedia sesuai dokumen SPJ. Hasilnya, RSUD Sumbawa merealisasikan belanja barang dan jasa dengan cara meminjam CV PA, CV RFK, CV SYA, dan UD PRM.

Peminjaman nama empat perusahaan ini digunakan untuk belanja ATK, bahan dan alat kebersihan, belanja cetak, makanan dan minuman rapat, pemeliharaan instalasi dan jaringan, pemeliharaan peralatan kantor dan rumah tangga, pemeliharaan sarana dan prasarana mesin, pemeliharaan sarana dan prasarana pendingin ruangan, penggandaan, serta perlengkapan dan peralatan rumah tangga.

Dalam hal ini, Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) meminjam  nama  perusahaan dengan cara terlebih  dahulu menyampaikan  dokumen  SPJ. SPJ itu dibuat PPTK atau bendahara pengeluaran kepada pihak perusahaan yang dipinjam.

Selanjutnya, pihak perusahaan yang dipinjam akan menandatangani dan membubuhkan cap atau stempel pada dokumen SPJ dan tagihan. Nilai SPJ ini sesuai dengan nilai belanja dalam RBA RSUD. Kemudian, pihak PPTK memproses SPJ tersebut untuk pencairan.

Setelah SPJ tersebut cair, pihak RSUD Sumbawa menghubungi perusahaan yang dipinjam untuk memberitahukan bahwa pembayaran atas belanja tersebut telah masuk ke rekening perusahaan. Lalu, perusahaan tersebut menarik secara tunai sejumlah nilai pembayaran dan menyerahkan kembali uang tunai kepada PPTK Tata Usaha.

Setiap transaksi menggunakan nama empat perusahaan itu dibebankan fee sebesar 5 persen dari nilai uang yang masuk ke rekening pemilik perusahaan. Nilai ini berdasarkan kesepakatan RSUD Sumbawa dengan pemilik perusahaan.

Temuan BPK menyebutkan, RSUD Sumbawa memberikan fee kepada CV PA, CV RFK, CV SYA dan UD PRM totalnya Rp 52.769.318. Namun telah disetorkan ke kas BLUD RSUD Sumbawa.

Inspektorat Diminta Audit Khusus

BPK juga menemukan pengadaan barang dan jasa RSUD Sumbawa Rp 2.540.383.187 yang tidak memiliki bukti-bukti transaksi, seperti pesanan, order, bon, permintaan barang, faktur, dan tagihan dari penyedia.

RSUD  Sumbawa hanya mendokumentasikan kuitansi dinas yang ditandatangani secara bervariasi oleh penyedia, bendahara pengeluaran, PPTK, serta Direktur RSUD Sumbawa. Kuitansi dinas disediakan RSUD Sumbawa dengan nilai sesuai dengan RBA.

Keterbatasan dokumen transaksi ini membuat BPK kesulitan untuk pengujian atas validitas bukti-bukti transaksi. Pembelian barang persediaan juga tidak dapat ditelusuri ke pencatatan mutasi persediaan maupun buku gudang karena tidak adanya pencatatan mutasi persediaan.

BPK telah melakukan prosedur alternatif dengan menggali keterangan kepada penyedia untuk menguji kebenaran kuantitas dan harga. Namun penyedia tidak dapat memberikan informasi dan bukti-bukti transaksi.

Sehingga BPK menyimpulkan realisasi pengadaan barang dan jasa Rp 2,5 miliar ini tidak dapat diyakini kewajarannya.

BPK pun merekomendasikan Bupati Sumbawa agar memerintahkan Direktur RSUD Sumbawa untuk mendokumentasikan bukti-bukti transaksi dengan penyedia barang dan jasa. Serta menginstruksikan PPK SKPD untuk memverifikasi kebenaran materiil bukti-bukti pertanggungjawaban belanja barang dan jasa.

BPK juga merekomendasikan agar Inspektorat Sumbawa melakukan pemeriksaan khusus atas pengadaan barang dan jasa Rp 2,5 miliar dan hasilnya nanti disampaikan kepada BPK melalui kepala daerah.

Direktur RSUD Sumbawa dr Nita Ariyani yang dikonfirmasi mengenai temuan BPK NTB belum merespon. Dikonfirmasi via pesan WhatsApp, dr Nita tak kunjung membalasnya. (ain)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here