
Sumbawa Barat, katada.id – Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB bersama Biro Hukum Setda NTB menggelar sosialisasi Peraturan Daerah dan penyuluhan hukum bagi para kepala desa di Kabupaten Sumbawa Barat. Kegiatan ini menjadi bagian dari program Jaga Desa yang bertujuan mencegah penyimpangan dalam pengelolaan dana desa.
Kepala Bagian Bantuan Hukum Biro Hukum Setda NTB Yudha Prawira Dilaga mengatakan, kegiatan ini melibatkan kepala desa, perangkat desa, dan unsur Pemkab Sumbawa Barat. “Kami ingin program Jaga Desa benar-benar menjadi sarana pencegahan korupsi, agar dana desa dikelola secara transparan dan akuntabel,” ujarnya.
Plt Asisten Intelijen Kejati NTB Iwan Setiawan menegaskan, kejaksaan turut bertanggung jawab menjaga desa dari potensi penyalahgunaan dana. “Kejaksaan hadir untuk desa. Program Jaga Desa dari Kejagung bertujuan memastikan anggaran desa tidak disalahgunakan,” katanya.
Program ini mencakup bantuan hukum, pertimbangan hukum, dan penanganan perkara di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara. Selain itu, pengawasan dana desa, pemulihan aset, dan penegakan hukum juga menjadi bagian dari program. “Termasuk pertukaran data dan informasi,” imbuh Iwan yang juga Asisten Pembinaan Kejati NTB.
Implementasi program ini juga didukung rumah restorative justice sebagai sarana penyelesaian hukum berbasis musyawarah, guna meningkatkan kesadaran hukum warga.
Iwan menjelaskan, dana desa harus diprioritaskan untuk infrastruktur, penguatan ekonomi, BUMDes, kesehatan, pendidikan, dan ketahanan pangan. “Di NTB, minimal 20 persen dana desa dialokasikan untuk Pekarangan Pangan Lestari,” tambahnya.
Namun, tidak semua kepala desa memahami tata kelola keuangan dengan baik. Karena itu, ia meminta pengelolaan mengikuti regulasi dari Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi. “Korupsi bukan soal besar kecil uangnya, tapi soal niat jahat dan perbuatan melawan hukum,” tegasnya.
Kasi I Intelijen Kejati NTB Supardin menyoroti pentingnya transparansi anggaran. “Silakan datang ke kantor kejaksaan jika butuh konsultasi hukum. Kami terbuka. Sekarang ini dunia makin transparan, informasi cepat menyebar lewat media sosial,” katanya.
Ia menyebut dinamika politik desa cukup tinggi, karena kepala desa dipilih langsung oleh masyarakat. “Baru menjabat setahun saja sudah diserang. Tapi kalau anggaran dikelola terbuka, tidak akan muncul persoalan,” ujarnya.
Supardin mengungkap tiga modus penyimpangan yang kerap terjadi, yakni kegiatan fiktif, laporan fiktif, dan penggunaan dana tidak sesuai peruntukan. “Jangan sampai terjadi. Ini tanggung jawab moral kita semua,” tegasnya.
Sementara itu, Kasi III Intelijen Kejati NTB Edi Tanto Putra meminta kepala desa aktif mengisi aplikasi Jaga Desa. “Tolong diisi. Data ini penting untuk memantau pengelolaan dana desa,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan soal praktik pungutan liar (pungli) yang tergolong korupsi. “Pungli bisa terjadi di banyak sektor, seperti pendidikan, perizinan, bansos, hibah, dan pengadaan barang,” katanya.
Menurutnya, pungli masih marak akibat lemahnya integritas, pengawasan, dan budaya saling menguntungkan. Akibatnya, pembangunan bisa tersendat dan ketimpangan sosial makin lebar.
Perwakilan Biro Hukum Setda NTB Iwan Nuryadi menambahkan, selain soal dana desa, pencegahan perkawinan anak juga menjadi perhatian. “Regulasi dan pengawasan harus diperkuat agar anak-anak tidak terjebak dalam pernikahan usia dini. Dampaknya luas,” ujarnya.
Ia menyebut, faktor budaya, pendidikan dan ekonomi, serta administrasi yang tidak tertib sebagai penyebab utama praktik tersebut.
Sosialisasi ini diharapkan mampu meningkatkan pemahaman kepala desa terhadap regulasi dan pentingnya pengelolaan dana desa yang transparan demi kesejahteraan masyarakat. (*)