
Mataram, katada.id – Ketua Komisi I DRPD NTB, Muhammad Akri mengatakan komitmen kuat untuk mengawal pelaksanaan meritokrasi dalam pemerintahan Gubernur Iqbal dan Wakil Gubernur Dinda.
Hal itu disampaikan politisi PPP inii, dalam dialog publik bertema “Meritokrasi Ala Iqbal-Dinda: Solusi Birokrasi atau Gimik Politik?” yang digelar Pojok NTB di Meeino Warking, Kota Mataram, Jumat malam (16/5).
“Kami di Komisi I DPRD NTB akan mengawal serius jalannya sistem meritokrasi. Kami ingin memastikan bahwa prinsip-prinsip dasar seperti kapabilitas, prestasi, dan kualifikasi benar-benar diterapkan,” tegas Akri.
Menurut Akri, meritokrasi harus menjadi instrumen utama dalam membangun birokrasi yang sehat. Ia menegaskan masyarakat nantinya akan menilai sendiri sejauh mana pemerintah mampu memberikan pelayanan publik yang efektif berdasarkan sistem tersebut.
“Nanti Pak Gubernur akan memberikan pertanggungjawaban kepada publik. Dalam konteks ini, publik akan memberikan penilaian terhadap apa yang dijanjikan dan direalisasikan,” ucapnya.
Lebih jauh, Akri menyampaikan harapannya agar para pejabat yang baru saja dilantik mampu menterjemahkan visi besar Iqbal-Dinda dalam kebijakan nyata. “Kalau nanti pelayanan publik malah tersendat, kita pasti akan kritisi,” ujar Sekretaris DPW PPP NTB itu.
Akri juga mengapresiasi gelaran dialog publik yang diinisiasi Pojok NTB. Ia menilai forum seperti ini penting sebagai bagian dari pendidikan politik serta ruang evaluasi publik terhadap kebijakan pemerintah.
“Dialog seperti ini bagian dari kontrol demokratis. DPRD terbuka terhadap kritik dan akan menjadikannya bahan evaluasi untuk mendorong perbaikan birokrasi,” katanya.
Pojok NTB Sebut Meritokrasi Masih Sebatas Narasi
Sementara itu, Direktur Pojok NTB, M. Fihiruddin, menyampaikan kritik terhadap pelaksanaan meritokrasi yang diklaim sebagai bagian dari kebijakan utama pemerintahan Iqbal-Dinda. Ia menyebut narasi meritokrasi sejauh ini belum diterjemahkan dalam bentuk kebijakan konkret.
“Kami memandang, meritokrasi baru sebatas narasi dan retorika belaka. Kita belum melihat terjemahan konkretnya dalam bentuk kebijakan birokrasi,” ucap Fihiruddin saat memberi sambutan.
Menurutnya, mutasi 72 pejabat yang dilakukan Iqbal-Dinda beberapa waktu lalu tidak mencerminkan asas meritokrasi. Ia bahkan menyebut mutasi tersebut sarat blunder karena tidak menempatkan pejabat sesuai kompetensi dan keahliannya.
“Ini bicara meritokrasi, tapi saat mutasi dilakukan, masih banyak penempatan yang tidak sesuai prinsip. Jangan anggap publik tidak bisa menilai. Publik paham mana yang layak, mana yang sekadar titipan,” sindirnya.
Sebagai bentuk komitmen sosial dan kontrol kebijakan publik, Fihiruddin menyatakan Pojok NTB akan konsisten menggelar dialog publik setiap bulan. “Ini kita lakukan sebagai representasi keresahan masyarakat terhadap kinerja pemimpinnya,” pungkasnya.
Akademisi : Baru 40 Persen Meritokrasi Jalan
Kritik terhadap pelaksanaan meritokrasi juga datang dari akademisi FISIP Universitas 45 Mataram yang juga pengamat politik, Dr. Alfisyahrin. Ia menilai meritokrasi di NTB belum berjalan sebagaimana mestinya dan masih dipengaruhi oleh kekuatan politik di balik layar.
“Dalam praktiknya, meritokrasi tidak mudah dijalankan di tengah sistem kekuasaan kita. Ada instrumen-instrumen lain yang mengendalikan keputusan, termasuk dalam mesin birokrasi,” terang Alfisyahrin.
Ia menambahkan, dalam konteks NTB, penerapan prinsip meritokrasi masih jauh dari harapan. Dari pengamatannya, mutasi pejabat yang dilakukan baru memenuhi sekitar 40 persen prinsip dasar meritokrasi.
“Sisanya masih menunjukkan praktik patronase kekuasaan. Meritokrasi masih kalah oleh kepentingan politik di panggung belakang,” jelasnya.
Alfisyahrin menyebut, tiga pilar utama meritokrasi adalah kapabilitas, prestasi, dan kualifikasi. Namun ia khawatir, narasi meritokrasi justru hanya digunakan untuk membungkus kepentingan kekuasaan dan memanipulasi kesadaran publik.
Mahasiswa Soroti Minimnya Kinerja Nyata
Kritik juga datang dari kalangan mahasiswa. Perwakilan mahasiswi, El Wani Pramesti, secara terbuka menyampaikan kekecewaannya terhadap minimnya capaian konkret pemerintahan Iqbal-Dinda.
“Jujur kami sampaikan, belum ada hasil nyata dari pemimpin kami. Saya melihat tidak ada keseriusan; masih leha-leha,” cetusnya.
Ia menuding Gubernur lebih banyak memainkan citra dan gimik di media sosial ketimbang bekerja di lapangan. “Hanya gaya-gayaan di media saja. Branding nya saja. Di lapangan, zonk,” katanya tegas.
El Wani bahkan menyatakan keinginan mahasiswa untuk berdialog langsung dengan Gubernur NTB. “Kalau bisa, kita ingin duduk bersama Gubernur. Kita mau mendengar langsung apa yang sudah dilakukannya beberapa bulan ini,” tambahnya.
Ia mengaku iri melihat beberapa kepala daerah lain di Indonesia yang telah melahirkan kebijakan nyata dan berdampak langsung ke masyarakat dalam waktu singkat. (red)