Intensifikasi Program Jagung di Pulau Sumbawa, Antara Identitas Daerah atau Komoditi Jebakan Negara

0
Foto Musafir, (Istimewa)

Oleh: Musafir*

Mataram, katada.id- Dalam rentang waktu sembilan tahun terakhir, langkah Intensifikasi pengembangan komoditas jagung hibrida di Pulau Sumbawa telah memberikan dampak signifikan terhadap pembangunan dan pemenuhan kebutuhan ekonomi bagi masyarakat, lebih khusus di Kabupaten Dompu. Kabupupaten Bima, dan Kota Bima.

Minat petani terhadap budidaya komoditas jagung hibrida sejak tahun 2016 sampai saat ini kian meningkat seiring dengan penyerapan pasar yang cukup massif, baik untuk pemenuhan kebutuhan dan diversifikasi pangan dalam negeri, maupun untuk pemenuhan permintaan pasar luar negeri (ekspor bahan baku).

Kebijakan pemerintah pusat menempatkan Pulau Sumbawa sebagai salah satu daerah sentral produksi komoditas jagung nasional menjadi highlight khusus penulis dalam menyajikan skeptis secara akademik terhadap keberlangsungan program turunannya, lebih khusus pada lemahnya fungsi pengawasan pemerintah daerah terhadap laju ekstensifikasi lahan Garapan untuk pengembangan komoditas jagung hibrida yang cukup lemah.

Kondisi objektif saat ini telah menunjukan kegiatan ekstensifikasi (perluasan) lahan garapan oleh sebagian besar petani jagung telah menyasar hutan lindung dan memicu terjadinya bencana ekologis yang cukup memprihatinkan di beberapa wilayah di Pulau Sumbawa. Hal tersebut tentunya terjadi sebagai dampak dari aktivitas sebagian besar petani dalam mengekspansi lahan garapan dengan mengabaikan pentingnya ketahanan hutan dan areal konservasi biodiversitas kehidupan.

Di sisi lain lemahnya fungsi pengawasan pemerintah daerah terhadap laju deforestasi dan degradasi hutan juga memberikan peluang yang cukup massif bagi petani dalam melakukan ekspansi perambahan areal hutan lindung. Dalam rentang waktu sampai pada tahun 2024, kerusakan hutan dan landscape lainnya di Provinsi NTB telah mencapai angka 60% dari total keseluruhan 1.071.722 hektar.

Dari jumlah tersebut; Khusus wilayah yang tersebar di bagian timur Pulau Sumbawa, luas area hutan tutupan yang telah digarap dengan tujuan ekspansi pertanian di Kabupeten Dompu mencapai 16,690 hektar, Kabupaten Bima mencapai 15,790 hektar, dan Kota Bima mencapai 1.093 hektar (WALHI dan DLHK Provinsi NTB, 2024).

Mari, kita tinjau dan melakukan analisis dampak lingkungan yang akan terjadi terhadap beberapa titik yang berpotensi memicu terjadinya disintegrasi lingkungan hidup yang telah diberikan hak guna usaha (HGU) oleh Pemerintah kepada beberapa korporasi yang mengembangkan industri ekstraktif di Pulau Sumbawa. PT. AMMAN mineral yang berada di Kabupaten Sumbawa Barat, iming-iming kontraknya akan habis sampai tahun 2030 telah mendapat kebebasan untuk menggeruk landscape tanah dan hutan dengan luas ±7000 hektar, begitu pun dengan PT STM di Kabupaten Dompu, telah memperoleh HGU/IUP dari pemerintah daerah dengan luas garapan ±12.000 hektar.

Belum lagi ketika kita meninjau beberapa potensi kerusakan lingkungan hidup yang ada di beberapa wilayah lainnya akibat dari kegiatan pengembangan wilayah ekonomi khusus, tambak, industri perkebunan, dan pariwisata.

Dengan kondisi demikian, tidak selamanya petani menjadi titik akhir sebagai tumpuan penghakiman disaat terjadinya bencana ekologis. Berangkat dari kondisi objektif tersebut, penulis mengajukan pertanyaan epistemologi pada akhir penggalan tema yang diangkat “Identitas daerah? atau komoditi jebakan negara?”.

Pada kenyataanya, di satu sisi pemerintah pusat dan daerah selalu menyudutkan petani jagung sebagai pelaku kejahatan deforestasi jika terjadinya bencana banjir dan tanah longsor, dan disisi lain, ketika dihadapkan dengan agenda panen raya, surplus produksi, serta terpenuhinya kebutuhan dalam negeri, sejenak mereka melupakan para petani jagung.

Ancaman kerusakan hutan, degradasi tanah, kontaminasi agroekosistem, dan potensi bencana ekologis lainnya kian memprihatinkan seiring berjalannya waktu. Sampai saat ini; langkah solutif dan aktivitas pengawasan pemerintah daerah dalam mencegah laju ekspansi lahan garapan ke area hutan dan konservasi masih lemah dan reaktif dilaksanakan, baik secara preventif maupun kuratif. Lemahnya fungsi pengawasan tersebut tidak terlepas dari abainya pemerintah daerah terhadap penentuan status otoritas pengawasan areal hutan yang masih tumpang tindih.

Fakta tersebut merupakan hasil tinjauan langsung penulis, setelah melakukan audiensi denga salah satu petugas DLHK di salah satu daerah di Pulau Sumbawa. Ketika ditanya tentang wilayah pengawasan, meraka mengalihkan permasalahan tersebut ke pemerintah provinsi, begitu pun sebaliknya, pemerintah provinsi mengalihkan kembali otoritas areal yang dirambah tersebut adalah areal kewenangan dan pengawasan pemerintah daerah Kabupaten/Kota. Hal ini menimbulkan polemik yang cukup paradoks sehingga sulit untuk menghadirkan solusi terhadap laju ekstensifikasi pertanian yang mengancam ekosistem hutan.

Sebagai bentuk perhatian dan highlight akademik penulis, pemerintah daerah harus berani menentukan sikap dalam membentuk kebijakan publik untuk melakukan proses transisi sistem budidaya pertanian pada beberapa daerah di Pulau Sumbawa. Hal ini ditujukan untuk memperkecil terjadinya kerusakan lingkungan dan segala bentuk bencana praktis. Sebagaimana setiap musim penghujan, Kota dan wilayah yang berada di hilir selalu mendapatkan banjir dan tanah longsor akibat fungsi hutan sebagai areal pertahanan di hulu sudah terdegradasi.

Oleh sebab itu, pemerintah daerah lebih fokus menggejot langka konservasi dan evorestasi areal hutan yang dirambah dengan terlebih dahulu memploting jenis lahan (hutan) dan penggunaannya, serta klasterisasi tahapan waktu pelaksanaan program. Selanjutnya, pemerintah daerah perlu mempertimbangkan kebijakan pembatasan dan perlindungan terhadap lahan yang terdegradasi untuk tidak reaktif menutup areal tersebut secara include dan latah.

Menurut penulis, sebaiknya serahkan ke petani sepenuhnya untuk melakukan proses reboisasi dan eforestasi pada areal hutan yang telah dijamah. Dengan kebijakan tersebut, petani dianjurkan untuk tetap melaksanakan budidaya jagung hibrida di areal tersebut dengan batas waktu selama lima tahun saja.

Setiap musim hujan, petani wajib menyelipkan penanaman dan perawatan tanaman hutan atau sejenisnya minimal 10 pohon/hektar. Sebagai bentuk pengawasan terhadap program tersebut, pemerintah daerah tentunya harus lugas memberikan reward dan punishment yang tegas.

Setiap petani yang berhasil merawat sepuluh pohon dalam setahun, maka akan diberikan hadiah berupa uang tunai atau hadiah lainnya. Begitu pun sebaliknya, jika petani menolak dan melakukan proses pembakaran serta merusakan kembali pohon-pohon yang ditanam, maka akan dihukum dengan cara memberhentikannya menggarap pada lahan tersebut secara tegas.

Alangkah baiknya jika metode semacam ini diterapkan pada petani kita di beberapa daerah seperti Kabupaten Bima, Kabupaten Dompu, dan Kota Bima kedepannya. Jika petani berhasil menanam kembali 10 pohon pada tahun berikutnya, maka dalam rentang lima tahun, jumlah pohon yang berhasil di reboisasi sebanyak 50 pohon.

Setelah berhasil dengan penerapan program semacam ini selama lima tahun, selanjutnya petani bisa diberhentikan menggarap tanaman jagung diarea tutupan tersebut, dan mengalihkannya untuk menanam tanaman berupa kopi, gaharu, atau tanaman produktif lainnya untuk dikelolah sebagai hutan produksi sesuai dengan klasterisasi dan topografis lahan yang ditentukan.

Dalam rentang waktu melaksanakan proses revitalisasi area hulu, pemerintah juga harus lugas mengambil kebijakan untuk mengoperasionalkan areal hilir dengan menerapkan pola agrosilviposturat. Kebijakan itu menganjurkan petani yang memiliki lahan garapan yang legal untuk memulai kembali menyisipkan sistem budidaya tumpang sari tanaman perkebunan dicelah-celah budidaya jagung hibrida, seperti jambu mete, mangga, nangka dan sejenisnya. Polanya sama seperti eforestasi di areal hulu.

Dalam interval waktu 5 tahun, petani sudah bisa memanen hasil dari penerapan sistem semacam ini. Mereka dapat memanen dua sampai tiga kali hasil dalam setahun, tentunya dengan jumlah dan hasil yang lebih besar dibanding menanam dengan pola monokultur (jagung saja).

Adapun catatannya, yaitu pemerintah harus menyediakan industri penanganan pasca panen komoditas buat dan sejenisnya dimasa transisi tersebut. sehingga dengan demikian niscaya petani akan merasa tentram dan cukup terpenuhi dari segala bentuk tuntutan kebutuhan pangan dan ekonominya.

*Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana, Universitas Brawijaya Malang

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here