Oleh: Imam Edy Ashari, SH.MH
Pernyataan pengurus Pordasi yang akan memipin demo mana kala joki cilik dihapuskan dalam event pacuan kuda Bima di salah satu media online hari ini sontak membuat saya dan beberapa sahabat pemerhati kebudayaan merasa kecewa. Pengetahuannya tetang sejarah pacuan kuda Bima sungguh sangat dangkal dan terkesan mengarang bebas, ia menyebut joki cilik sudah ada sejak ratusan tahun dan menganggap bahwa tidak pernah ada masalah yang muncul dari event-event sebelumnya. Pernyataan tersebut justeru menjelaskan bahwa beliau adalah orang yang tidak terliterasi dengan baik.
Setelah pernyataan ini diposting di media online, akhirnya kita tersadarkan kenapa masa depan joki cilik tidak terakomodir dengan baik oleh panitia pacuan kuda selama event pacuan kuda di Bima yang melibatkan joki cilik. Karena pengurus Pordasi yang justru punya kuda dan ikut terlibat dalam setiap event-event pacuan kuda, sehingga statemen yang dibangun hanya soal kuda, kuda, dan kuda, jadi tidak mempertimbangkan unsur humanisme dalam setiap argumentasinya.
Baik kita akan mengupas tuntas masalah ini dengan kepala dingin dan hati yang tenang. Melihat dari sudut pandang sejarah, tradisi, hukum, dan masa depan joki cilik.
Sejarah
Bahwa dalam sejarah event pacuan kuda di Bima tidak pernah sama sekali melibatkan anak-anak sebagai joki dalam perlombaan pacuan kuda, hal itu dapat dibuktikan dengan dokumentasi-dokumentasi yang terposting oleh pemerhati kebudayaan seprti Fahru Rizki dan Ibu Dewi. Bahwa sejarah pertama kali dimulainya pacuan kuda di Bima, joki-jokinya adalah mereka yang dewasa dengan tinggi rata-rata 160 cm dan berbadan kurus. Tujuannya dari kriteria kurus adalah agar stamina dan kecepatan kuda tetap terjaga saat berada di lintasan pacuan. Tapi seiring berkembangnya zaman, joki-joki dewasa tergantikan oleh anak-anak, hal ini tentu dengan tujuan agar stamina dan kecepatan kuda pacuan semakin meningkat. (Wawancara dengan Fahru Rizki).
Kita bisa beradu argumen soal sejarah ini, jika pak Irfan tak suka, boleh membeberkan data sejarah yang autentik bahwa ratusan tahun joki cilik sudah ada.
Tradisi
Saya tetap sepakat bahwa pacuan kuda Bima adalah tradisi, lalu ke khasannya adalah hadirnya joki cilik yang menghiasi arena pacuan. Tapi kita mungkin tidak sadar, bahwa tradisi dan kebudayaan adalah kekhasan suatu daerah atau suku yang tidak dimiliki oleh suku lain. Lalu siapa yang berhak mengklaim tradisi tersebut jika di Dompu, Sumbawa dan NTT juga melibatkan joki cilik dalam setiap perlombaannya, sedangkan kita tak punya akar sejarah yang kuat untuk mengklaim bahwa joki cilik adalah tradisi yang khas dari masyarakat Bima. Itu salah satu PR kita untuk lebih komplek menyebut sebuah kegitan sebagai tradisi.
Masih soal tradisi, apakah semua tradisi tetap terjaga atau mungkin bisa gugur karena ilmu pengetahuan. Jika kita belajar tentang filsafat ilmu, kita akan tau bagimana ilmu pengetahuan mengantarkan kita dari peradaban yang bodoh ke peradaban yang lebih manusiawi. Saya akan mengambil titik terjauh dari sejarah ilmu pengetahuan di dunia, yaitu Yunani kuno. Bahwa tugas para filsuf di zaman itu memperbaiki tradisi yang tidak masuk akal menjadi masuk akal, seperti tradisi memberikan persembahan nyawa ke Dewa Zeus mana kala terjadi kemarau yang terlalu panjang, dengan pengetahuan bagaimana siklus hujan bisa terjadi. Bahwa tradisi juga bersifat dinamis, ia dapat saja berubah akibat standar keilmuan yang semakin berkembang.
Fungsi ilmu pengetahuan itu menjelaskan sesuatu kejadian yang salah untuk dapat diperbaiki.
Hukum
Tujuan dari terbentuknya UU no 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dapat kita lihat dari poin pertimbangannya :
a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia;
b. bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. bahwa anak sebagai tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa memiliki peran strategis, ciri, dan sifat khusus sehingga wajib dilindungi dari segala bentuk perlakuan tidak manusiawi yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia;
Dalam setiap sikap dan tingkah laku maka kita sebagai warga negara yang baik tentu akan mengacu pada bentuk hukum yang sudah kita sepakati. Bahwa hukum adalah alat untuk membatasi sikap baik dan buruk seseorang dalam kehidupan bernegara, maka tak ada tafsir yang dapat digunakan untuk menentukan baik atau buruk prilaku seseorang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara selain hukum. Maka penting bagi kita menggunakan logika hukum dalam pelaksanaan pacuan kuda yang melibatkan joki cilik tersebut. Dalam poin di atas, bahwa kemudian hukum merumuskan anak sebagai aset yang begitu penting dalam keberlangsungan kehidupan bangsa, tentu saja pasca uu ini diterbitkan, maka pemahaman kita tentang anak ikut berbuah dan menyesuaikan setiap apa saja yang berkaitan dengan anak.
Dalam pabdangan hukum pidana event pacuan kuda yang berlangsung selama ini, secara pribadi saya pribadi melihat ada unsur kesengajaan yang justru dilakukan oleh panitia pacuan kuda dalam mempersiapkan safety bagi joki-joki cilik tersebut. Kesengajaan dalam pacuan kuda saat ini disebut sebagai dolus alternativers, yaitu kesengajaan di mana pembuat dapat memperkirakan akibat yang akan terjadi, seperti dengan sengaja membawa mobil yang kita ketahui bahwa mobil tersebut tidak memiliki rem. Dalam hal ini pembawa mobil tidak mengehendaki terjadinya musibah. Maka hal tersebut dapat dikatakan sebagai kesengajaan. Hal ini tentu sama dengan yang terjadi kepada adik kita almarhum Sula Sabila, bahwa kita dapat memperkirakan akibat dari balapan kuda bagi joki cilik tanpa safety yang memadai.
Masa depan joki cilik
Untuk menutup tulisan ini, saya ingin mengajak para pembaca untuk ikut memperhatikan nasib tunas bangsa dan penerus cita-cita negara, bahwa akal dan pikiran kita harus lebih luas dari sudut pandang mata kita. Kita tak boleh melihat pacuan kuda saat ini hanya dengan membahas nasib pacuan kudanya, tapi instrumen-instrumen penting untuk keselamatan para joki cilik perlu kita pikirkan, dan masa depan pendidikan bagi tunas bangsa yang berlaga di medan kematian itu juga harus diperhatikan. Kita bisa saja melakukan pemetaan nasib anak yang pernah menjadi joki cilik di masa yang lalu, sebagai variabel pelengkap bahwa sistem yang dipakai saat ini berimbas buruk bagi mereka (joki cilik) di masa depan.
Jika kita merasa bangga atas “Tradisi” pacuan kuda Bima, kenapa tak ada yang perduli dengan nasib dan masa depan manusia yang ada di atas kuda pacuan itu. Merumuskan kembali bagaimana regulasi pacuan kuda adalah langkah terbaik saat ini, bukan malah mengancam untuk berdemonstrasi.
Penulis: Akademisi UIN Mataram, Pemerhati Budaya