Kota Bima, katada.id – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mendalami dugaan korupsi di Pemkot Bima. Kaitan dengan proyek rehab rekon senilai Rp 166 miliar.
Baru-baru ini, lembaga anti rasuh ini meminta dokumen proyek yang dikerjakan lewat satuan kerja Dinas PUPR dan BPBD Kota Bima.
“Kami sudah serahkan dokumen ke APH (aparat penegak hukum),” kata kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Kota Bima, H. Mahfud kepada katada.id, Kamis (29/9/2022).
Ia tidak merinci dokumen apa saja yang diserahkan ke KPK. Tetapi dokumen-dokumen yang dikirim itu sesuai permintaan KPK. “Hanya 10 dokumen saja yang diminta,” ungkapnya.
Soal pemeriksaan kepala Dinas PUPR Kota Bima, HM. Amin dan Kalak BPBD Kota Bima Hj. Jubaidah, ia menegaskan, sejauh ini belum ada panggilan lagi untuk yang bersangkutan.
Mahfud juga menepis informasi yang menyebutkan HM. Amin sudah tiga kali diperiksa KPK “Tidak. Beliau ada di Bima bang,” tepisnya.
Sebelumnya, KPK memanggil kontraktor yang mengerjakan proyek rehab rekon senilai Rp 166 miliar. Salah satunya rekanan berinisial NA.
Perusahaan milik NA ini mengerjakan enam paket proyek pada tahun 2019 dan 2020. Proyek itu dikerjakan lewat satuan kerja PUPR dan BPBD Kota Bima.
Dari enam paket proyek ini, perusahaan NA mengerjakan proyek dengan angka terbesar senilai Rp 5,3 miliar dan terkecil Rp 100 juta. Hanya saja, proyek tersebut tidak langsung ditangani NA. Perusahaannya dipinjam pakai keluarga pejabat tinggi Pemkot Bima.
“Saya mendapatkan surat panggilan dengan logo KPK. Perihal surat itu, pengambilan keterangan. Ada logo KPK dalam surat, maupun amplopnya,” beber NA kepada wartawan, Selasa (27/9/2022).
Selain dipanggil untuk diminta keterangan, ia mengaku dimintai untuk membawa sejumlah dokumen seperti buku rekening, baik milik perusahaan maupun pribadi. NA juga diminta membawa dokumen proyek yang dikerjakan.
NA menegaskan, tidak menikmati sepersen pun uang dari enam proyek yang dikerjakan perusahaannya. Karena setiap pencairan langsung diambil oleh seorang keluarga pejabat tinggi di Pemkot Bima.
“Saya hanya terima berupa gaji sebagai pelaksana. Perusahaan saya hanya atas nama saja. Sedangkan uang, semuanya mengalir ke keluarga pejabat tinggi itu (disebut nama lengkapnya),” ungkapnya.
Saat menerima panggilan dari KPK, ia mengaku ditemui oleh seseorang dari dinas di Pemerintahan Kota Bima dan meminta untuk menandatangani sebuah dokumen proyek yang hilang. “Saya tidak mau, karena tidak ada tandatangan di atas tandatangan,” ujarnya.
NA memastikan akan menghadiri panggilan KPK dan memberikan pernyataan yang sebenarnya-benarnya. (red)