Terbukti Korupsi, Mantan Pegawai BPR NTB Cabang Dompu Divonis 4 Tahun Penjara 

0
Terdakwa Badaruddin usai mendengarkan pembacaan putusan di Pengadilan Tipikor Mataram, Senin (3/4/2023).

Mataram, katada.id – Terdakwa kasus korupsi Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Nusa Tenggara Barat (NTB) cabang Rasabou, Kabupaten Dompu Badaruddin divonis 4 tahun penjara.

Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Mataram menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan korupsi yang merugikan negara ratusan juta rupiah.

“Mengadili, menjatuhkan hukuman pidana terhadap terdakwa Badaruddin selama 4 tahun  tahun penjara,” kata Ketua Majelis Hakim Agung Prasetyo dalam amar putusannya yang dibacakan, Senin (4/3/2023)

Selain pidana penjara, terdakwa juga dihukum membayar denda Rp50 juta subsider satu bulan penjara. “Terdakwa diperintahkan tetap berada dalam tahanan,” tegasnya.

Terdakwa juga dibebankan membayar uang pengganti Rp284 juta. Jika uang pengganti tidak dibayarkan setelah satu bulan setelah putusan inkrah, maka harta bendanya bisa disita oleh negara. “Jika harta bendanya tidak mencukupi maka terdakwa mengganti pidana kurungan selama 1 tahun 6 bulan kurungan penjara,” terangnya.

Vonis Badaruddin lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Sebelumnya, ia dituntut 5 tahun penjara dan denda Rp200 juta, serta membayar uang pengganti Rp284 juta.

Dalam kasus ini, terdakwa Badaruddin mengajukan kredit modal kerja untuk 12 nasabah dengan total Rp284 juta sekitar Juni hingga November. Dalam pengajuan itu, terdakwa meminjam nama keluarganya, orang lain dan mantan istrinya.

Dari 12 nasabah, terdakwa mengajukan kredit atas nama orang tuanya, Israil Abubakar dengan nilai Rp25 juta. Proses pengajuan semuanya diurus terdakwa. Setelah uang cair, uang tersebut langsung auto debet ke rekening kredit kakak kandung terdakwa, Tharmizi. Uang tersebut digunakan mencicil penyetora Tharmizi yang masih memiliki tunggakan Rp50 juta dari kredit Rp100 juta. Pengajuan kredit ini tidak diketahui oleh orang tua terdakwa.

Terdakwa juga mengajukan kredit atas nama kakak kandungnya, Tharmizi. Nilai kredit yang diajukan Rp25 juta. Setelah uang dicairkan, terdakwa setorkan ke rekening kredit Tharmizi yang memiliki tunggakan Rp50 juta dari pinjaman Rp100 juta. Pengajuan kredit ini tanpa sepengetahuan saksi Tharmizi.

Berbeda dengan nasabah Sri Rahma. Awalnya Sri mengajukan kredit Rp10 juta, namun terdakwa menaikan menjadi Rp25 juta. Begitu uang dicairkan, terdakwa mengambil Rp15 juta, sedangkan Sri menerima Rp10 juta.

Begitu pula dengan nasabah Syharir. Semula nasabah mengajukan kredit dengan nilai Rp10 juta, tetapi terdakwa menaikan menjadi Rp25 juta. Setelah dicairkan, terdakwa mengambil Rp15 juta dan saksi Syahrir Rp10 juta.

Sementara nasabah Syahrudin sama sekali tidak pernah mengajukan kredit Rp25 juta. Namun terdakwa meminjam nama nasabah tersebut dan mengurus sendiri bahan pengajuan kredit. Hal yang sama terjadi dengan nasabah Iskandar. Ia tidak pernah mengajukan kredit Rp25 juta. Bahan nasabah ini semuanya diurus terdakwa. Setelah cair terdakwa gunakan untuk keperluan pribadi dan ini diketahui oleh nasabah tersebut.

Untuk nasabah Masrin, awalnya mengajukan kredit Rp13 juta, namun dinaikan terdakwa menjadi Rp25 juta. Saat pencairan, terdakwa mengambil Rp13 juta, sedangkan Masrin menerima Rp12 juta.

Modus yang sama dimainkan terdakwa untuk nasabah Abidin Arahman. Awalnya nasabah mengajukan Rp10 juta tapi nilai kredit dinaikan oleh terdakwa menjadi Rp25 juta. Nasabah Masrin hanya menerima Rp10 juta, sementara terdakwa mengambil Rp15 juta.

Nilai kredit Nasabah A. Azis juga dinaikan oleh terdakwa. Awalnya Azis mengajukan kredit Rp5 juta, namun dinaikkan menjadi Rp 25 juta. Nasabah Azis mengambil Rp5 juta dan terdakwa mengambil Rp20 juta.

Untuk nasabah Arahman, ia tidak pernah mengajukan kredit. Namun namanya digunakan terdakwa untuk mencairkan dana kredit Rp25 juta. Pengajuan kredit ini memang diketahui oleh saksi Arahman. Uang digunakan terdakwa untuk keperluan pribadi.

Terdakwa juga mengajukan kredit atas nama mantan istri, Astuti. Proses pengajuan diurus terdakwa. Saat masih berstatus suami istri, Astuti pernah mengambil kredit dan masih ada tunggakan Rp9 juta. Kemudian tanpa sepengetahuan Astuti, terdakwa mengajukan kredit. Setelah dicairkan, terdakwa menggunakan uang untuk membayar tunggakan kredit sebelumnya.

Terakhir, terdakwa mengajukan kredit menggunakan nama istrinya, Baiq Suciati Sunarya dan dicairkan Rp25 juta. Uang tersebut dipakai untuk keperluan pribadi terdakwa.

Agar memudahkan pencairan dana kredit tersebut, terdakwa melakukan penilaian dan memberikan kesimpulan tidak sesuai dengan prosedur kelayakan pemberian kredit modal untuk 12 nasabah. Pencairan juga tidak ditandatangani pimpinan cabang, Abdul Salam dan Kasi Kredit Abdul Hari. Proses pencairan uang kredit tersebut diambil secara tunai terdakwa kepada Bendahara Nurkaukabah yang selanjutnya diberikan kepada beberapa nasabah.

Dalam perkara ini, terdakwa melakukan penyimpangan dengan mengajukan pinjaman atas nama orang lain (pinjam nama). Menyalahgunakan permohonan pembiayaan kredit nasabah dengan menambah plafon nilai kredit. Serta membuat permohonan pembiayaan kredit nasabah fiktif atas nama mantan istrinya. Akibat perbuatan terdakwa, negara dirugikan Rp284 juta berdasarkan hasil perhitungan BPKP NTB. (ain)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here