Pilkada, antara Perebutan Kekuasaan dan Pertarungan Gagasan

Oleh: Yasser Arafat SH. MH

0

PILKADA sejatinya ruang kompetisi terbuka bagi setiap warga negara  untuk tampil mengisi ruang kepemimpinan publik. Karena pilkada di negara demokrasi adalah sarana perwujudan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan setiap 5 (lima) sekali sebagai wadah rekruitmen kepemimpinan politik. Di negara demokrasi seleksi kepemimpinan merupakan agenda pokok kekuasaan yang didesain secara khusus dan ketat oleh negara melalui konstitusi.

Rekruitmen kepemimpinan di negara demokrasi bukan sekedar seremoni artifial belaka. Tetapi sarana untuk menyeleksi dan menyaring orang terbaik untuk menjadi pemimpin yang memiliki kemampuan berpikir adatif, responsif, imajinatif, dan mampu membawa ide besar bagi masa depan rakyat banyak. Sehingga negara menyiapkan anggaran miliaran, bahkan triliunan hanya  untuk mencari orang-orang hebat agar bisa terseleksi menjadi pemimpin paling berpengaruh. Supaya bisa mempengaruhi pikiran publik secara mayority tentang ide-ide kreatif perubahan bagi  kemajuan pembangunan di segala sektor bidang pembangunan.

Pilkada, memang secara formil hanya bertumpu pada narasi seleksi dan rekruitmen pemimpin yang secara rigid telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tetapi secara filosofis pilkada harus dimaknai secara mendalam makna yang terkandung di dalamnya. Karena kalau ditarik keakar historisnya, di mana  seluruh dialektika kepemimpinan bermula dari dialog panjang para filosof dan pemikir-pemikir hebat kenegaraan. Sebut saja Plato, Aristoteles, Imanuel Kant, Jhon Locke, Dante, Ibnu Khaldun, dll.

Bagi mereka, kepemimpinan identik dengan ide, dan ide merupakan penuntun bagi jalan keluar dari segala persoalan yang dihadapi oleh negara. Kepemimpinan tanpa didukung oleh ide dan gagasan, adalah kepemimpinan yang mati, mustahil membawa perubahan dan kemajuan, dengan kata lain berjalan di tempat. Padahal tuntutan perubahan semakin mengeras dan mengemuka sesuai dengan tuntutan dan perubahan kemajuan jaman yang terus berubah tiada henti mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Sehingga tantangan yang dihadapi oleh daerah-daerah semakin besar yang menuntut daerah-daerah terus melakukan terobosan, inovasi, dan memperkuat networking dalam rangka memenuhi tuntutan publik.

Jadi Pilkada, jika dimaknai secara  kritis, hal paling utama bukan sekedar  seleksi, dan election manusianya yang didahulukan. Tetapi menyeleksi (menyaring) isi otak. Karena isi otak lebih berbobot dan memiliki energi positif membangun, ketimbang memprioritaskan batok kepala yang berisi selaput kulit dan rambut yang mudah dimodifikasi agar terlihat menarik untuk mengalirkan simpati publik.

Pilkada idealnya harus menjadi arena terbuka bagi pertarungan ide-ide besar dan kritis  bagi para calon  untuk diuji kedalaman, keluasan, dan  kelengkapan dalil argumentasi tentang visi besar pembangunan daerah jangka pendek, menengah, dan panjang. Agar dapat dibaca secara jernih oleh publik, mana yang memiliki nutrisi perubahan bagi kemajuan daerah. Sehingga Pilkada betul-betul menjadi panggung  atraksi  terbaik untuk menunjukkan kemewahan konsep, dan kelebihan-kelebihan lain yang dimiliki oleh kontestan. Agar publik dapat menilai calon mana yang memiliki kemampuan terbaik yang diharapkan bisa membawa kemajuan bagi pembangunan daerah. Karena Pilkada bukan sekedar perkara memilih pemimpin, tetapi memastikan betul yang terpilih orang tepat mampu  mengurai dan menyelesaikan masalah serius yang selama ini tidak teratasi. Seperti ketimpangan pembangunan disetiap kecamatan, kemiskinan masih menjadi momok, pengangguran terus bertambah, kriminalitas semakin meningkat, narkoba terus merajalela, kerusakan hutan, ancaman kekeringan, kekerasan di kalangan remaja, diskriminasi pelayanan kesehatan, sarana prasarana layanan kesehatan kurang memadai, usaha-usaha peningkatan Petani, dan nelayan belum ada kemajuan dan masih banyak yang lain, dan masalah-masalah tersebut berdampak rendahnya IPM suatu daerah.

Tentunya, pilkada harus menjadi rumah kreasi bersama untuk mendesain seindah mungkin. Di mana setiap  tontonan harus menarik dan memiliki daya pikat publik, baik tampilan calon harus menunjukkan pribadi yang hangat, santun, ramah, jujur, toleran, bersahabat, berbudi pekerti, relegius, amanah, dan patuh hukum, maupun tagline program isinya harus berbobot, bermutu, dan berkelas. Dapat dirasionalisasikan secara jernih sesuai tantangan yang dihadapi, murni hasil analisis dan kajian secara professional. Dapat dipertanggungjawabkan secara akademis kepada publik, bukan berisi angan-angan yang indah.

Itu pentingnya semua pihak ikut berpartisipasi mengawasi setiap tahapan kegiatan agar dapat memastikan tidak ada informasi tertinggal. Karena kalau publik punya kepekaan dan kepedulian untuk terlibat mengawal, mengawasi, dan memberi koreksi, maka bisa dipastikan pilkada berkualitas dapat terwujud. Maka semua pihak stakeholder harus bersinergi, baik Penyelenggara Pemilu, pengawas,Insan Pers, Dunia Kampus, LSM, Kelompok Civil Society, Dunia Pendidikan, dan NGO harus mengawal pilkada.

Pilkada berkualitas akan terwujud, jika semua komponen menjadikan pilkada sebagai agenda  kepentingan bersama untuk menjaga dan merawat keberlanjutan demokrasi. Sebagai satu-satunya media yang tersedia untuk menyalurkan aspirasi politik dalam memilih pemimpin berkualitas, pemimpin berkualitas lahir dari pilkada bermutu. Mutu pemimpin berbanding lurus dengan mutu proses pilkada. Pilkada harus menjadi momentum perbaikan kualitas seleksi dan rekruitmen pemimpin daerah agar yang dihasilkan betul-betul pemimpin berkelas bukan pemimpi berhalusinasi, miskin kreasi, minim prestasi. Karena otonomi membutuh pemimpin yang memiliki kemampuan terobosan, inovasi dan membangun networking untuk memperkuat daya saing daerah di pentas nasional dan internasional.

Pembangunan daerah akan cepat berkembang apabila didasari ide-ide kreatif pemimpin karena di era otonomi daerah diberikan kewenangan yang luas untuk menggali potensi daerah berdasarkan potensi lokal dan prakarsa masyarakat setempat. Pilkada sesungguhnya adalah jalan  lapang menuju kesejahteraan bagi masyarakat di daerah yang berkeadilan.

Agenda Pilkada merupakan sarana perbaikan konsolidasi instrumen kekuasaan agar dapat diperdayakan dan difungsikan secara optimal peran masing-masing organ-organ tersebut dalam rangka memperkuat tegaknya nilai-nilai demokrasi diaras politik lokal daerah. Karena selama ini pilkada terkesan hanya memberi ruang munculnya praktek feodalisme baru (raja-raja kecil) di daerah. Sehingga dikhawatirkan  mengakar dan menguatnya budaya politik dinasti mengusai panggung politik lokal yang dapat menghambat konsolidasi demokrasi di  daerah. Walaupun secara konstitusional politik dinasti tidak dikenal. Tetapi prakteknya di daerah sejak pilkada langsung  bergulir banyak sekali fakta menunjukkan bagaimana kuatnya cengkraman kekuasaan kepala daerah dalam mengkonsolidasi desain kekuasaan agar sirkulasi elit berputar dan bertumpu pada kelompok elit tertentu atau kolega terdekat untuk menjaga dan memperpanjang umur kekuasaan. Agar kekuasaan tidak berpindah tangan yang dikhawatirkan dapat mengganggu stabilitas kenyamanan kekuasaan sebelumnya.

Pilkada dan Arena Perebutan Kekuasaan

Makna hakiki Pilkada dapat kehilangan nilai sakralnya sebagai wadah  rekruitmen kepemimpinan politik lokal di daerah, jika pilkada hanya dijadikan sebagai arena perebutan kekuasaan oleh elit. Karena sejatinya pilkada merupakan sarana untuk memperbaiki saluran politik di tingkat lokal yang tersumbat akibat tidak efektifnya kepemimpinan yang  kental dengan praktek-praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Sehingga peran sentral  kepala daerah di era otonomi diharapkan mampu mempercepat pembangunan daerah diberbagai sektor melalui gerakan dan gebrakan inovasi kepemimpinan justru mandeg.

Banyak kepala daerah (Gubernur, Bupati, dan Walikota) yang tersandera oleh banyaknya deal kompromi berupa fee dan konsesi yang harus diberi dan dibagi kepada supporting financial penyuplai dana pra pilkada maupun aktor setting yang mempraksai andil kemenangan saat pilkada, turut menjadi pihak yang mengatur dan mengendalikan seluruh dinamika percaturan kepentingan politik birokrasi. Akhirnya birokrasi yang netral, independen tersandera menjadi agen kepentingan korporasi, dan para tim sukses. Birokrasi tidak lagi menjadi mesin kepentingan publik yang kompeten dan professional. Ini bahayanya dari dampak pilkada sebagai arena perebutan kekuasaan semata bukan sebagai pertarungan gagasan cerdas untuk menguji bobot kemampuan intelektual pemimpin.

Di era keterbukaan informasi, kecanggihan teknologi, hightek pengetahuan manusia modern, diperlukan pemimpin memiliki kecakapan tinggi, skill memadai. Apalagi di era otonomi daerah tuntutan publik demikian rasional desakannya seperti percepatan  pembangunan, peningkatan kesejahteraan, perbaikan kualitas SDM, pembangunan infrastruktur memadai, pemulihan fungsi hutan yang rusak, penciptaan lapangan kerja, pemberantasan narkoba, menekan angka kemiskinan dan peningkatan layanan kesehatan bagi masyarakat, dan lain-lain.

Untuk itu, energi positif pilkada secara konseptual sebagai sarana rekruitmen kepemimpinan yang paling rasional dan modern. Karena mensyaratkan banyak sekali persyaratan untuk tegaknya nilai-nilai dasar demokrasi di aras politik lokal harus diperkuat dengan konsolidasi bersama mencegah tumbuhnya praktek oligarki kekuasaan dan kultur feodalisme yang dapat merusak tatanan nilai-nilai yang sudah dibangun. Energi positif pilkada dalam dinamika politik lokal tidak boleh tereduksi dan kehilangan ruhnya dikarenakan kuatnya energi perebutan kekuasaan. Sehingga kemurnian spirit pilkada bisa kehilangan orientasi makna nilai filosofisnya sebagai jalan lapang menuju kesejahteraan dan pembangunan berkeadilan sebagaimana cita-cita luhur otonomi daerah apabila semua pihak tidak ambil bagian memperjuangkan tegaknya pilkada demokratis.

Pilkada langsung setelah dihelat beberapa kali tak dapat disangkal banyak sekali praktek menyimpang. Membuat pilkada tidak ubahnya seperti bursa judi untuk merebutkan kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan. Sehingga ada banyak nilai dikesampingkan dan dilanggar seperti rasional etik, moral etik, sosial etik, norma etik. Di mana batin publik terus dikeroyok rame-rame agar kehilangan rasionalitas berpikir. Dan intelektualpun ikut andil memberi sumbangsih ketika tidak  lagi menjadi mata batin publik yang berpikir jernih, kritis dan independen, mereka ikut menjadi partisan mendesain pilkada sebagai arena perebutan kekuasaan.

Adapun dampak buruk dari kuatnya  sentimen pilkada sebagai arena perebutan kekuasaan,  munculnya  manipulasi pencitraan, manipulasi informasi, black campign. Bahkan negatif campign dilakukan sebagai strategi untuk menaikkan rating popularitas agar ambisi meraih kekuasaan terbayar. Tidak heran di musim di pilkada menjamur lembaga survey partisan mewarnai dinamika politik lokal memberikan analisis dan prediksi berdasarkan hasil kajian. Walaupun sebelumnya lembaga tersebut tidak terdengar namanya, tetapi turut memberikan analisis dengan tujuan mempengaruhi opini publik.

Adapun Lembaga-lembaga survey populer yang kiprahnya telah teruji daya kemampuannya dan dikenal luas publik mendapatkan keuntungan besar di setiap pilkada. Jasanya diperebutkan dengan bayaran biaya tinggi. Pilkada di pusaran politik lokal seperti bursa judi. Di mana orang-orang saling berlomba bertaruh mengunggulkan pasangannya masing-masing yang memenangkan pilkada dengan berbagai indikator yang mereka kumpulkan.

Faktor-faktor tersebut ikut memengaruhi panasnya tensi pilkada di akar rumput dan antara pendukung. Dan pada akhirnya pilkada menjadi ajang mempertahankan gengsi dan ego di antara para calon dan pendukung. Sehingga kenikmatan pilkada sesungguhnya sebagai medan perang gagasan dan media pertukaran ide-ide besar justru berubah menjadi ajang perebutan kekuasaan. (*)

Penulis adalah Dosen STKIP Bima

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here